Rabu, 26 Agustus 2009

Tahun ini prodi PBI kita menerima 8 kelas baru, sekitar 320 mahasiswa dari sekitar 600 pendaftar pada prodi ini. Di satu sisi, kami, para dosen, merasa bangga dengan capaian ini. Ini refleksi dari kenyataan bahwa prodi ini kian diminati. Tentu ini buah kerja keras dari semua pihak; namun di sisi lain, kami seperti kehilangan energi untuk bicara masalah kualitas. Merupakan kewajiban untuk membelajarkan mahasiswa menguasai keterampilan berbahasa Inggris, tetapi bagaimana mungkin dengan jumlah mahasiswa yang ‘over-quota’ dan jadwal mengajar yang ‘over-load’, belum lagi ditambah tugas-tugas lain sebagai dosen? Semoga ini menjadi tantangan untuk mengatur strategi dan melaksanakan pembelajaran yang cukup berkualitas… (whatever happens, welcome guys to this campus and learn many new things here!)

Selasa, 18 Agustus 2009

MASALAH-MASALAH PELAFALAN (PRONUNCIATION) YANG DIHADAPI PENUTUR BAHASA INDONESIA YANG MEMPELAJARI BAHASA INGGRIS

Yusti Arini


In English sound system, there are many styles of speech for each individual which is influenced by a variety of causes such as locality, early influences, and social surroundings. The pronunciation of English involves the production of individual or isolated sounds and the utterance of words, phrases, and sentences with correct spelling and stressing and/or rhytm intonation.
Basically, comparing with the English sound system, Indonesian sound system is similar to the English sound system. They are similar in some terms, namely, minimal pairs, similutude, assimilation, elision, and intonation. However, some differences also exist. Some English vowels and consonants do not exist in Indonesian. Indonesian also do not have clusters, stress, and aspirated sounds.
Problems faced by the Indonesians learning English are concerned with the ear, the matter of making foreign sounds, the distribution of the sounds, certain attributes about sounds, fluency, and the relation between pronunciation and conventional spelling. Therefore, they should overcome the problems by deeply understanding the theory of phonology and practicing to pronounce the words correctly.

A. Pendahuluan

Dalam sistem bunyi bahasa Inggris terdapat banyak cara pengucapan pada masing-masing individu yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti daerah asal, pengaruh-pengaruh awal, dan lingkungan sosial. Oleh karena itu, banyak ahli bahasa Inggris yang mengemukakan deskripsi rinci tentang satu bentuk pelafalan bahasa Inggris, yang setidaknya dapat dengan mudah dipahami oleh lingkungan pengguna bahasa Inggris, walaupun tidak standar. Bentuk pelafalan tersebut diistilahkan sebagai “Received Pronunciation”, yang berarti ‘pelafalan yang dapat dipahami secara luas’.
Pada kenyataan yang sebenarnya, terdapat sejumlah alternatif pelafalan untuk ribuan kata dalam bahasa Inggris, yang seluruhnya bisa disebut benar. Bagi yang bukan penutur bahasa Inggris, cara pelafalan yang paling cocok untuk dipelajari dikenal sebagai “Slower Colloquial”, cara pelafalan di antara bentuk formal dengan pelafalan yang digunakan dalam perbincangan antar orang yang telah akrab. Cara tersebut merupakan cara yang dapat digunakan sepanjang waktu .
Pelafalan bahasa Inggris melibatkan produksi masing-masing bunyi dan pengucapan kata, frasa, dan kalimat dengan ejaan, penekanan dan / atau intonasi yang benar. Selain itu, terdapat cara bagaimana membaca kata dengan benar yang disebut ‘phonetic transcription’ (transkrip fonetik), yang didefinisikan sebagai sejenis penulisan alfabetik di mana tiap-tiap huruf mewakili satu bunyi. Tujuan transkrip fonetik adalah untuk memberikan informasi yang jelas dan tidak ambigu kepada pembelajar bahasa, misalnya bunyi yang mana yang harus digunakan pada suatu kata atau frasa, dan dalam rangka apa mempergunakan bunyi tersebut. Nilai suatu huruf sangat beragam dan tergantung pada (i) konteks fonetik, dan (ii) bahasa atau dialek yang sedang ditulis .

B. Sistem Bunyi Dalam Bahasa Inggris
Bunyi dalam bahasa Inggris terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Vokal (Vowel)
Vokal didefinisikan sebagai ‘huruf hidup yang dalam pembentukannya udara keluar melalui tenggorokan dan mulut, tanpa hambatan dan penyempitan sehingga tidak ada gesekan yang terdengar’. Ada 12 vokal dalam bahasa Inggris yang dibagi ke dalam tiga kelompok; vokal depan (i:, i, e, æ), vokal tengah (:, , ), dan vokal belakang (a:, כ, כ:, u, u:). Pembagian vokal tersebut tergantung pada lidah dan bibir. Posisi bibir meliputi: bibir tertutup-melebar, bibir netral, bibir terbuka-membulat, dan bibir tertutup-membulat.
No. Symbol Word Phonetic Transcription
1. i: see si:
2. I sit sIt
3. e get get
4. æ mat mæt
5. a: car ka:
6. כ lot l כ t
7. כ: saw s כ:
8. u put put
9. u: too tu:
10.  shut ∫t
11.  another nδ
12. : fur ƒ:


2. Diftong (Diphthong)
Diftong adalah bunyi yang dibuat melalui pemindahan satu posisi vokal ke posisi vokal yang lain. Secara fonetik, diftong diwakili oleh urutan dua huruf, yang pertama menunjukkan posisi mulai dan yang kedua menunjukkan arah pergerakan. Diftong dikelompokkan menjadi dua, yakni diftong tertutup (ei, כ u, ai, au, כi) dan diftong tengah (i, ε, כ, u).
No. Symbol Word Phonetic Transcription
1. ei day dei
2. כu go gכu
3. ai high hai
4. au now nau
5. כi boy bכi
6. i here hi
7. e there δe
8. כ shore ∫כ
9. u tour tu


3. Konsonan (Consonant)
Konsonan adalah bunyi atau huruf (huruf hidup atau mati) yang dalam produksinya udara tidak keluar secara lancar melalui mulut dan tenggorokan, tetapi mengalami hambatan atau penyempitan sehingga terdengar adanya gesekan. Konsonan dapat dikelompokkan menurut (i) titik artikulasi, dan (ii) cara artikulasi.
a. Menurut titik artikulasi
1) Labial, yaitu bunyi dengan titik artikulasi pada bibir. Labial terbagi dua, bilabial, yaitu bunyi yang diartikulasikan oleh dua bibir (p, b, m), dan labio-dental, yaitu bunyi antara bibir bawah dengan gigi atas (f, v).
2) Dental, yaitu bunyi yang diartikulasikan oleh ujung lidah dengan gigi depan (θ, δ).
3) Alveolar, yaitu bunyi yang diartikulasikan oleh ujung lidah dengan gusi (t, d).
4) Palato-alveolar, yaitu bunyi yang diartikulasikan oleh badan lidah dengan langit-langit mulut (t∫,dЗ).
5) Palatal, yaitu bunyi yang diartikulasikan oleh bagian depan lidah dengan langit-langit bagian depan (j).
6) Velar, yaitu bunyi yang diartikulasikan oleh bagian belakang lidah dengan langit-langit bagian belakang (k, g, ŋ).
7) Glottal, yaitu bunyi yang dihasilkan di glottis.
a. Menurut cara artikulasi
1) Plosive, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup rongga udara sepenuhnya (p, b).
2) Affricate, yaitu bunyi yang menyerupai plosive tetapi pemisahan organ-organ artikulator dilakukan tidak terlalu cepat (t∫,dЗ).
3) Nasal, mulut tertutup sepenuhnya, langit-langit bagian belakang tetap rendah sehingga udara secara bebas melewati rongga (m, n, ŋ).
4) Lateral, hambatan terletak pada tengah-tengah mulut, udara secara bebas keluar (l).
5) Rolled, bunyi dihasilkan oleh gerakan cepat dari sejumlah organ yang elastis (r).
6) Flapped, bunyi yang menyerupai konsonan rolled tetapi hanya terdiri dari satu gerakan cepat saja (r).
7) Fricative, bunyi dibentuk dengan menyempitkan rongga udara sehingga keluarnya udara menyebabkan suara hissing (f, v, θ, δ,s,z,∫,З,h).
8) Semi-vowel, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh perpindahan secara cepat organ ucapan dari vokal tertutup ke sejumlah vokal yang lain.





Symbol Word Phon. Trans. Symbol Word Phon. Trans.
p pay peI θ think θIŋ
t tea ti: δ they δeI
k cow kau s say seI
b boy bכI z zoo zu:
d day deI ∫ show ∫כu
g go gכu З measure meЗ
m may meI r ray reI
n no nכu h high haI
ŋ sing siŋ t∫ chuw t∫u:
l low lכu dЗ joy dЗכI
ƒ fee fi: w way weI
v vow vכu j you ju:


4. Kluster (Cluster)
Kluster adalah sejumlah kata yang dibaca dalam satu nafas, misalnya, film, spending, struggle, knuckle dan pronunciation. Untuk memproduksi bunyi bahasa Inggris semacam itu, organ-organ ucapan harus bergerak secara tepat. Dalam produksi bunyi tersebut, udara datang dari paru-paru melalui rongga udara (trachea), dan kemudian melewati kerongkongan, tenggorokan, dan rongga mulut yang diatur oleh organ-organ ucapan.
Selanjutnya, pita suara terletak di tenggorokan; menyerupai dua bibir. Pita tersebut bisa terpisah dan bisa pula tertutup sehingga dapat sepenuhnya menutup rongga udara. Ketika pita suara tersebut saling mendekat dan udara terdesak dalam saluran tersebut, pita suara bergetar, sehingga memproduksi bunyi yang dikenal sebagai ‘voiced’’. Ketika pita suara saling menjauh dan udara melewatinya, bunyi yang dihasilkan dikenal sebagai ‘breathed’’, dan bunyi yang dihasilkan di tengah-tengah glottis sebagai ‘whisper’.

C. Persamaan dan Perbedaan Antara Sistem Bunyi Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia
Pada dasarnya, sistem bunyi dalam bahasa Indonesia serupa dengan sistem bunyi dalam bahasa Inggris. Meskipun demikian, ada sejumlah vokal dalam bahasa Inggris yang tidak muncul dalam bahasa Indonesia. Sejumlah konsonan bahasa Inggris juga tidak muncul dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia juga dikenal adanya diftong, tetapi tidak memiliki kluster. Kluster dalam bahasa Indonesia hanya terjadi pada kata ‘pinjaman’, yaitu kata yang diserap dari bahasa lain. Dalam hal ini, kluster pada bahasa Indonesia diadopsi dari bahasa Inggris. Misalnya, strategi dari /strategy/, struktur dari /structure/, instrumen dari /instrument/, dan sebagainya. Dalam bahasa Inggris, tekanan sangat penting karena mempengaruhi makna suatu kata, sedangkan dalam bahasa Indonesia tekanan tidak begitu penting karena tidak mempengaruhi makna suatu kata. Selain itu, dalam bahasa Inggris terdapat aspirated sound, yang berarti bunyi yang disertai hembusan udara yang mengikutinya ketika diucapkan .
Sejumlah bunyi dalam bahasa Inggris tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia, dan bunyi-bunyi pada kedua bahasa yang memiliki tempat artikulasi yang sama sebenarnya memiliki cara artikulasi yang berbeda. Pada dasarnya, sistem bunyi bahasa Indonesia serupa dengan sistem bunyi bahasa Inggris. Terdapat sejumlah istilah yang ada pada kedua sistem bunyi. Istilah-istilah tersebut adalah:
1. Minimal pairs
Minimal pairs adalah dua kata yang serupa dalam pengucapan tetapi memiliki makna yang berbeda dan satu bunyi yang berbeda.Misalnya saja, kata-kata dalam bahasa Inggris bin /bin/ dengan been /bi:n/, wick /wik/ dengan weak /wi:k/, full /ful/ dengan fool /fu:l/, pen /pen/ dengan pan /pæn/, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Indonesia, ban – dan, diri – tiri, dara – tara, kayu – bayu, baik – naik, suka – luka.
2. Similitude
Similitude terbentuk ketika sejumlah ragam bunyi tertentu yang sedang digunakan memiliki kemiripan dengan bunyi yang berdekatan pada suatu kata atau kalimat. Dalam bahasa Inggris, misalnya, berbagai bunyi k yang berbeda digunakan pada banyak kata seperti pada kata curtain /ktn/, cook /kuk/, corner /kכ:n/, record /rikכd/, dan sebagainya. Dalam bahasa Indonesia, pada kata-kata besok, kapan, dialek dan sebagainya.
3. Assimilation
Assimilation adalah proses historis di mana bunyi, yang dipengaruhi oleh bunyi di sebelahnya, digantikan oleh bunyi-bunyi yang lain sejalan dengan berkembangnya suatu bahasa dan dengan demikian sejumlah perubahan tertentu muncul pada pelafalan kata-kata. Misalnya saja, pada bahasa Inggris, kata horse diucapkan /hכ:s/ dan shoe diucapkan /∫u:/, tetapi kata horseshoe diucapkan /hכ: ∫ ∫u:/. Dalam bahasa Indonesia, kata me- + bantu menjadi membantu, terdapat asimilasi antara m dan b.
4. Elision
Elision merupakan proses historis di mana suatu bunyi yang diucapkan lebih dahulu pada suatu kata menjadi hilang ketika kata yang sama diucapkan pada masa-masa selanjutnya. Dalam bahasa Inggris, kata cupboard dibaca /kbd/ dan kindness dibaca /kainnis/. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, prefiks me- + konsonan k,p,t,s akan meluluh, misalnya kata me- + tinju menjadi meninju, me- + pakai menjadi memakai.



5. Intonation
Dalam bahasa Inggris dikenal rising dan falling intonation. Intonasi dalam bahasa Inggris mempengaruhi makna kata tetapi dalam bahasa Indonesia intonasi tidak benar-benar mempengaruhi makna kata.
Di samping persamaan-persamaan di atas, terdapat juga sejumlah perbedaan antara sistem bunyi bahasa Inggris dengan sistem bunyi bahasa Indonesia.
1. Vowels
Tidak seperti bahasa Inggris, pada bahasa Indonesia tidak terdapat vokal i,u:,:,æ, ,כ:,a:.
2. Consonants
Sejumlah konsonan pada sistem bunyi bahasa Inggris tidak terdapat pada bahasa Indonesia. Konsonan-konsonan tersebut adalah v, θ, δ,З,dan ∫.
3. Cluster
Cluster adalah sekelompok bunyi yang dibaca dalam satu nafas. Sebenarnya, dalam bahasa Indonesia juga terdapat cluster, tetapi hanya pada kata-kata ‘pinjaman’ (kata-kata yang dipinjam dari bahasa lain, dalam hal ini bahasa Inggris).
4. Stress
Stress didefinisikan sebagai tingkat tekanan suatu bunyi atau suku kata diucapkan.Dalam bahasa Inggris, stress sangat mempengaruhi makna suatu kata, tetapi dalam bahasa Indonesia stress tidak mempengaruhinya. Dalam bahasa Inggris, stress dapat muncul di awal maupun tengah kata, misalnya, ‘potograph, a’nother, oppor’tunity.
5. Aspirated sound
Aspirated sound adalah bunyi yang disertai oleh satu hembusan udara yang mengikutinya ketika diucapkan, seperti pada p, t, k. Aspirated sound muncul hanya pada suku kata yang ditekan. Misalnya, pea /phi:/, put /phut/, time /thim/, car /kha:/, dan sebagainya.

D. Durasi dalam Bahasa Inggris dan Aturan-aturannya

Durasi suatu bunyi adalah lamanya waktu suatu bunyi diucapkan tanpa terputus dalam suatu kata atau frasa. Durasi bunyi mutlak ini tergantung pada tingkat ucapan; durasi ini merupakan durasi relatif suatu bunyi pada suatu bahasa dan sangat penting bagi pembelajar bahasa . Fakta-fakta penting yang berkaitan dengan durasi pada bahasa Inggris dijelaskan pada aturan-aturan berikut:



1. Durasi suatu diftong relatif lebih panjang daripada vokal murni.
Diphthongs Pure Vowels
code / kכud / cod / kכd /
nose / nכuz / nostril / n כstril /
laid / leid / led / led /
base / beis / best / best /
sail /seil / sell / sel /
late / leit / let / let /

2. Vokal-vokal panjang, yaitu i:, a:, כ:, u:, dan :, memiliki durasi yang lebih panjang daripada vokal-vokal pendek (i, e, æ, , , כ, u,).

Long vowels Short vowels
fern / f:n / fur / f /
bird / b:d / cupboard / kbd /
cord / k כ:d / cod / kכd /
caught / k כ:t / cot / kכt /
hard / ha:d / had / h æd /
barn / ba:n / ban / b æn /

3. Sebuah vokal yang berada pada suku kata terbuka berdurasi relatif lebih panjang daripada yang berada pada suku kata tertutup.

Open syllable Short syllable
he / hi: / heal / hi:l /
fee / fi: / feast / fi:st /
who / hu: / whose / hu:z /
coo / ku: / cool / ku:l /
nor / nכ: / naughty / nכ:ti /
adore / dכ: / adopt / dכ:pt /

4. Vokal yang berada pada suku kata yang ditekan berdurasi relatif lebih panjang daripada yang berada pada suku kata yang tidak ditekan.

Stressed syllable Unstressed syllable
bird / b:d / cupboard / kbd /
first / f:st / canvas / kænvs /
through / θru: / throughout / θruaut /
car / ka: / Carnegi / kanedЗi /


5. Durasi vokal yang diikuti oleh konsonan hidup relatif lebih panjang daripada yang diikuti konsonan mati.

Voiced consonant Voiceless consonant
side / sai.d / sight / sai.t /
robe / rou.b / rope / rou.p /
pig / pi.g / pick / pi.k /
save / sei.v / safe / sei.f /
send / se.nd / sent / se.nt /
sword / sכ:.d / sort / sכ.t /
his / hi.z / hiss / hi.s /
cold / kכu.ld / colt / kכu.lt /
lived / li.vd / lift / li.ft /


E. Masalah-masalah Umum yang Dihadapi Pembelajar Bahasa Inggris
Dari aturan-aturan yang telah dijelaskan di atas, tidak semua dapat dipenuhi oleh pembelajar bahasa Inggris. Ada dua kesalahan yang biasa dilakukan oleh para pembelajar tersebut. Yang pertama, banyak pembelajar asing tidak mengucapkan vokal atau diftong ‘panjang’ dengan durasi yang cukup panjang ketika diakhiri atau diikuti oleh konsonan hidup (voiced), khususnya ketika vokal dan diftong tersebut berada pada suku kata akhir yang ditekan. Yang kedua, banyak pembelajar asing gagal untuk memendekkan vokal atau diftong ‘panjang’ ketika diikuti oleh konsonan mati.
Pembelajar bahasa Inggris seringkali juga membuat sejumlah kesalahan lain dalam mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris . Kesalahan-kesalahan tersebut disebabkan oleh berbagai kesulitan, yaitu:
1. Kesulitan No. I terkait dengan pendengaran. Orang memiliki kepekaan pendengaran yang berbeda dan hal itu mungkin saja dapat menyebabkan kesalahan.
2. Kesulitan No.II terkait dengan masalah mempelajari bagaimana membuat bunyi-bunyi asing dengan organ ucapan kita sendiri.
3. Kesulitan No.III terkait dengan masalah mengetahui dan mengingat; distribusi bunyi yaitu bunyi yang mana yang tepat untuk diucapkan pada suatu kata atau kalimat, dan dalam konteks apa bunyi tersebut diucapkan.
4. Kesulitan No. IV terkait dengan aspek-aspek tertentu bahwa bunyi saling terkait satu sama lain.
5. Kesulitan No.V terkait dengan kelancaran (fluency), yaitu kemampuan untuk mengucapkan keseluruhan rangkaian bunyi (kelompok bunyi) secara mudah dan cepat.
6. Kesulitan No.VI terkait dengan hubungan antara pelafalan (pronunciation) dan ejaan konvensional.
Kesalahan-kesalahan di atas merupakan masalah paling umum yang dihadapi oleh pembelajar. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi seseorang yang sedang mempelajari bahasa Inggris untuk memahami lebih jauh tentang bunyi-bunyi yang sulit dalam bahasa Inggris sehingga dia dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut.


F. Langkah-langkah Untuk Mengatasi Masalah-Masalah Pada Pronunciation
Merupakan suatu yang sangat penting untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dalam pronunciation secara menyeluruh. Berdasarkan kesulitan-kesulitan yang telah dibahas di atas, sangatlah penting bagi pembelajar untuk mengetahui sejumlah langkah untuk mengatasi masalah-masalah pronunciation .
1. Metode yang terkait dengan pendengaran
Satu-satunya metode yang efektif untuk melatih pendengaran adalah latihan mendengarkan bunyi secara sistematis. Pembelajar harus menemukan seseorang yang dapat mengucapkan bunyi-bunyi dalam bahasa Inggris secara cepat dan memintanya untuk mendiktekan bunyi-bunyi tersebut satu persatu dan kata-kata asal jadi yang dibuat dari rangkaian bunyi-bunyi tersebut. Dengan diberikan jenis latihan yang tepat, kemampuan mendengar pembelajar akan jauh lebih meningkat; pendengaran yang kurang terlatih akan membaik, dan pendengaran yang sudah terlatih akan semakin membaik lagi.
2. Metode untuk mengatasi kesulitan yang terkait dengan masalah menghasilkan bunyi-bunyi dalam bahasa Inggris dengan organ ucapan kita.
Cara untuk mengatasi kesulitan seperti ini adalah, pertama kali, mempelajari teori organ ucapan (teori fonetik), dan kedua, jika diperlukan, latihan berdasarkan teori-teori tersebut. Pembelajar akan dapat mengucapkan bunyi-bunyi secara tepat dalam waktu sesingkat mungkin jika dia memahami apa yang harus dilakukannya dengan lidahnya, bibirnya, dan organ-organ lainnya. Jadi dia harus memahami posisi di mana organ ucapan harus diletakkan dan apa yang harus dilakukan guna mendapatkan hasil yang diharapkan.
3. Metode untuk mengatasi masalah yang terkait dengan pemahaman dan ingatan, serta distribusi bunyi.
Para pembelajar bahasa Inggris terbiasa untuk melihat ejaan konvensional suatu bahasa guna memperoleh informasi tentang urutan bunyi yang tepat. Sebuah alfabet yang dibentuk berdasarkan satu simbol, dan selalu simbol yang sama, untuk masing-masing bunyi dikatakan bersifat fonetis. Dengan memanfaatkan transkrip fonetik pembelajar dapat menghindari kesalahan pronunciation yang diakibatkan oleh sikap pembelajar yang hanya mendasarkan pada ejaan biasa.
4. Metode untuk mengatasi masalah yang terkait dengan sifat-sifat bunyi yang saling berhubungan satu sama lain.
Masalah ini meliputi penggunaan durasi, tekanan, dan intonasi secara tepat. Informasi yang diperlukan ditunjukkan oleh tanda pada transkrip fonetik.
5. Metode untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kelancaran (fluency).
Fluency adalah kemampuan untuk mengucapkan seluruh rangkaian bunyi (kelompok-bunyi) secara mudah dan cepat, tanpa berhenti atau tergagap. Metodenya cukup sederhana: lakukan pengulangan mengucapkan kelompok bunyi yang cukup sulit diucapkan. Kelompok bunyi tersebut awalnya diucapkan secara lambat dan secara bertahap dipercepat. Tindakan-tindakan tertentu harus diulang secara benar sampai pembelajar merasa mudah dan lancar untuk mengucapkannya.
6. Metode untuk mengatasi masalah hubungan antara pronunciation dengan ejaan konvensional.
Tentang hal itu dapat dipahami lebih dalam dengan cara membaca buku-buku fonologi dan membuka kamus bahasa Inggris yang cukup lengkap, sehingga paham tentang cara mengucapkan sebuah kata.

G. Penutup
Dalam mempelajari bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, harus benar-benar dipahami bahwa sistem bunyi bahasa tersebut berbeda dengan bahasa Indonesia. Ada beberapa bunyi dalam bahasa Inggris yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, baik itu dalam bentuk vocal, konsonan, diftong maupun berbagai bentuk bunyi yang lain. Selain itu, dalam bahasa Indonesia tekanan (stress), durasi (length) dan intonasi (intonation) tidak mempengaruhi makna suatu kata atau frasa.
Dikarenakan adanya berbagai perbedaan tersebut, pembelajar bahasa Inggris seringkali mengalami kesulitan yang disebabkan oleh berbagai hal: berbedanya kepekaan pendengaran, permasalahan bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi asing dengan organ ucapan kita, permasalahan distribusi bunyi, dan permasalahan kelancaran. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diatasi dengan berupaya mendalami lagi teori-teori fonologi, rajin membuka kamus untuk mengetahui bagaimana cara mengucapkan suatu kata dan latihan mengucapkannya serta melatih pendengaran dengan cara mendengarkan native speaker baik secara langsung maupun melalui kaset.
Dalam belajar bahasa Inggris, dapat mengucapkan kata, frasa, dan kalimat secara benar, selayaknya ucapan yang dihasilkan oleh penutur bahasa Inggris merupakan tujuan utama. Hal itu menjadi penting karena dalam bahasa Inggris kesalahan pengucapan akan menyebabkan makna kata menjadi keliru pula. Akibatnya, pesan yang ingin kita sampaikan tidak akan dapat diterima dengan jelas.
Berdasarkan uraian tersebut, sangatlah penting memperkenalkan cara pengucapan bahasa Inggris secara benar sejak awal kepada pembelajar bahasa Inggris. Dengan demikian, dapat diharapkan munculnya pembelajar yang mampu menguasai cara-cara pengucapan yang benar dalam bahasa Inggris sehingga akhirnya dapat berbicara menggunakan bahasa Inggris secara lancar dan akurat.


REFERENSI

Gleason, H.A.J., An Introduction to Descriptive Linguistics. New York: Holt, Rinehart & Winston, 1987.

Jones, Daniel, The Pronunciation of English, Cambridge: Cambridge University Press, 1990.

Madya, Suwarsih, Improving Your Pronunciation Through Theory and Practice, Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1988.

McCarthy, Peter A.D., English Pronunciaton, Cambridge: W. Heffer & Sons Ltd., 1991.

Parera, Daniel Jos, Pengantar Linguistik Umum: Bidang Fonetik dan Fonemik, Flores: Nusa Indah, 1983.

Sahulata, Daniel, An Introduction to Sounds and Sound System of English, Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Pengembangan LPTK, 1988.

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING) TIPE TAI (TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION) DAN APLIKASINYA SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUA

• Yusti Arini

This research is aimed at applying the Cooperative Learning model in the type of Team Assisted Individualization (TAI) as an effort to increase the writing ability among the second semester students of English Educational Program of Jurai Siwo State Islamic College as well as knowing its process and results. This is a Classroom Action Research (CAR) with three cycles (12 meetings) and 35 students as the subjects. It was conducted on the basis of the CAR stages; planning, acting, discussing, and reflecting. The questionnaire and interview were also included.
The research results show that in the first cycle, a total score increase of 43,91% take place. On the contrary, in the second cycle, there is a decrease of 7,11% in the score average, and in the third cycle, there is an increase of 16,42%. The average of motivation score is 78,69, meaning that this learning model can stimulate the students’ motivation. The subjects face some difficulties in applying grammar, verb tense, and vocabularies; in adjusting the content with the outline; and in making the supporting details. They also find some problems in working together with their classmates because of several reasons.





I. PENDAHULUAN

How is writing like swimming? Human beings universally learn to walk and to talk, but that swimming and writing are culturally specific, learned behaviors. We learn to swim if there is a body of water available and usually only if someone teaches us. We learn to write if we are members of a literate society, and usually only if someone teaches us.
Kutipan paragraf di atas menggambarkan bahwa keterampilan writing – menulis – baik dalam bahasa ibu maupun dalam bahasa asing, adalah kemampuan yang harus dipelajari. Dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, berbagai keterampilan berbahasa Inggris merupakan fokus penting untuk dikuasai, di samping pengetahuan tentang bahasa Inggris itu sendiri. Demikian pula halnya dengan proses pembelajaran pada Program Studi S1 Tadris Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro, kemampuan writing merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh mahasiswa.
Berdasarkan hasil pembelajaran Writing 1 pada semester I yang lalu, masih terdapat sekitar 56% mahasiswa yang mendapatkan nilai yang kurang baik (< 70). Hasil ini menunjukkan masih ada berbagai masalah dalam proses pembelajaran writing yang harus segera diatasi. Oleh karena itu, peneliti merasa penting melakukan suatu upaya guna meningkatkan kualitas proses pembelajaran writing yaitu dengan menerapkan model Cooperative Learning tipe TAI (Team Assisted Individualization) pada proses pembelajaran di kelas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) tipe TAI dapat meningkatkan hasil belajar writing mahasiswa semester II Prodi S1 Tadris Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro, apakah penerapan model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) tipe TAI dapat menumbuhkan motivasi belajar writing mahasiswa semester II Prodi S1 Tadris Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro, dan kesulitan-kesulitan apa saja yang dihadapi mahasiswa semester II Prodi S1 Tadris Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro dalam memperoleh kemampuan writing.
Pemecahan masalah dalam penelitian ini difokuskan kepada memperbaiki kualitas pembelajaran writing di kelas dengan cara mengaplikasikan model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) tipe TAI sebagai upaya meningkatkan motivasi dan kemampuan writing mahasiswa semester II Program Studi Tadris Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro serta mendeskripsikan proses dan hasilnya.


II. KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teoretis
1. Writing dan Proses Pembelajarannya
Mengapa kita harus belajar menulis dengan baik? Jawaban pertanyaan ini ada pada urgensi writing. Writing merupakan keterampilan yang harus dikuasai dan tidak hanya dipelajari di kelas karena akan dipergunakan pada berbagai bidang kehidupan nantinya. Meskipun demikian, ruang kelas merupakan tempat untuk mempelajari dan mempraktikkan keterampilan writing yang tidak hanya diperlukan pada saat perkuliahan tetapi juga pada kehidupan di masa depan.
Ada 3 pendekatan dalam proses writing; pendekatan yang difokuskan pada hasil writing (teks) dengan mengkaji teks dengan berbagai cara, pendekatan yang difokuskan pada penulisnya dan mendeskripsikan writing sebagai proses menciptakan teks, pendekatan yang difokuskan pada peran pembaca dalam proses writing, yaitu dengan menambahkan dimensi sosial pada hasil writing (teks). Sementara itu, beberapa strategi yang dapat digunakan untuk menyampaikan ide-ide melalui tulisan adalah analysis, argumentation, cause and effect, classification, comparison and contrast, definition, description, and exemplification.
Pada mata kuliah Writing 2 ini materi yang dipelajari adalah tentang Forms of Writing: Narration, Description, Exposition, Argumentation, The Paragraph: Subject and Topic, Topic Sentence, Point Paragraph, Developing and Supporting Ideas: Listing, Brainstorming, Clustering, Outlining, Flow Chart, Editing, dan Letters: Business And Personal Letters.

2. Motivasi Belajar
Ada dua jenis motivasi, intrinsik dan ekstrinsik. Keduanya menyerupai dua kutub yang berada pada dua ujung suatu kontinuum kemungkinan munculnya intensitas perasaan atau dorongan, yang dimulai dari dalam diri seseorang menuju ke dorongan yang berasal dari luar. Motivasi dipicu oleh representasi-representasi kognitif (gambaran-gambaran atau penghargaan-penghargaan) yang ada pada individu mengenai situasi atau kejadian yang akan muncul pada waktu yang akan datang, atau dengan ungkapan lain motivasi adalah kondisi psikologis yang menggerakkan individu untuk melakukan tindaka demi tercapainya tujuan.
Terkait dengan pembelajaran writing, maka motivasi dapat dimaknai sebagai dorongan atau keinginan dalam diri mahasiswa untuk mencapai kualitas hasil belajar yang baik melalui berbagai upaya yang masih dalam lingkup proses belajar.

3. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Model pembelajaran kooperatif bukanlah hal yang sama sekali baru bagi pengajar. Apakah model pembelajaran kooperatif itu? Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap peserta didik yang ada dalam kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang, rendah). Model pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Holubec dalam Nurhadi mengemukakan bahwa belajar kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran melalui kelompok kecil mahasiswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang saling asah, silih asih, dan silih asuh. Sementara itu, Bruner dalam Siberman menjelaskan bahwa belajar secara bersama merupakan kebutuhan manusia yang mendasar untuk merespons manusia lain dalam mencapai suatu tujuan.
Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik mahasiswa meningkat dan mahasiswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta berkembangnya keterampilan sosial.

4. Prinsip Dasar dan Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Johnson & Johnson , prinsip dasar dalam model pembelajaran kooperatif adalah setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya, setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama, setiap anggota kelompok harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya, setiap anggota kelompok akan dikenai evaluasi, setiap anggota kelompok berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya, dan setiap anggota kelompok akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Adapun karakteristik model pembelajaran kooperatif adalah mahasiswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai; kelompok dibentuk dari beberapa mahasiswa yang memiliki kemampuan berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; dan, penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masing-masing individu.
Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar mahasiswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun teman lain. Terdapat 6 (enam) langkah model pembelajaran kooperatif meliputi menyampaikan tujuan dan memotivasi mahasiswa, menyajikan informasi, mengorganisasikan mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, membimbing kelompok belajar, evaluasi dan pemberian umpan balik, serta memberikan penghargaan.

5. Pembentukan dan Penghargaan Kelompok
Menurut Slavin , pengajar memberikan penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar dari nilai dasar (awal) ke nilai kuis/tes setelah mahasiswa bekerja dalam kelompok. Nilai peningkatan 5, jika nilai kuis/tes terkini turun lebih dari 10 poin di bawah nilai awal; nilai peningkatan 10, jika nilai kuis/tes terkini turun 1 sampai dengan 10 poin di bawah nilai awal; nilai peningkatan 20, jika nilai kuis/tes terkini sama dengan nilai awal sampai dengan 10 di atas nilai awal; dan nilai peningkatan 30, jika nilai kuis/tes terkini lebih dari 10 di atas nilai awal.




B. Kerangka Berpikir
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang memberikan landasan teoretis bagaimana peserta didik dapat sukses belajar bersama orang lain. Peserta didik tidak diajarkan untuk memandang teman-teman lainnya sebagai kompetitor untuk dikalahkan, melainkan sebagai mitra belajar yang saling mendukung. Ukuran bersaing adalah dengan diri sendiri bagaimana peserta didik dapat menghasilkan yang terbaik karena dorongan motivasi dari dalam diri. Bahkan peserta didik didorong untuk dapat memberikan kontribusi kepada rekan-rekan dengan apa yang dia miliki.
Dalam proses pembelajaran Writing 2 pada penelitian ini, model pembelajaran kooperatif diaplikasikan sebagai upaya memadukan berbagai tingkatan kemampuan dalam satu kelompok. Ini dilakukan selain agar bisa terjadi saling bantu antar anggota kelompok, juga bertujuan untuk mengasah kemampuan masing-masing anggota kelompok, baik kemampuan secara individu maupun secara berkelompok. Subjek juga dilatih untuk terampil berkomunikasi dengan rekan-rekannya, mengemukakan pendapat, ide, serta pemikirannya sebagai upaya kerjasama tim untuk menyelesaikan suatu tugas dengan lebih baik. Dengan berbagai keunggulan model pembelajaran kooperatif ini, diharapkan peserta didik akan terlibat dalam proses pembelajaran yang lebih baik sehingga kualitas kemampuannya dalam bidang akademik maupun berinteraksi dengan orang lain dapat meningkat.

C. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) Tipe TAI (Team Assisted Individualization) maka kualitas proses dan hasil pembelajaran Writing 2 mahasiswa semester II Prodi S1 Tadris Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro akan meningkat.”

III. PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dan dilaksanakan di Program Studi S1 Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro. Lokasi penelitian terletak di Jl. Ki Hajar Dewantara Kampus 15 A Metro Timur, Kota Metro, Provinsi Lampung. Kampus ini merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri yang ada di Kota Metro, sehingga sudah selayaknya berbagai kegiatan penelitian harus dilakukan guna mewujudkan kehidupan kampus yang lebih dinamis.
Pelaksanaan penelitian dimulai dari tahap perencanaan sampai dengan penulisan laporan penelitian memakan waktu selama 6 (enam) bulan, yaitu dari bulan Maret sampai dengan September 2008. Pelaksanaan tindakan atau pengaplikasian model pembelajaran di dalam kelas sendiri dilakukan sebanyak 3 (tiga) siklus. Masing-masing siklus memakan waktu 1 (satu) bulan atau 4 (empat) kali pertemuan sehingga secara keseluruhan jumlah pertemuan adalah sebanyak 12 (dua belas) kali.
Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa semester II Program Studi S1 Tadris Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro Tahun Akademik 2007/2008, Kelas B dengan jumlah mahasiswa sebanyak 35 orang. Kelas ini dipilih karena memiliki nilai rata-rata Writing 1 yang paling rendah di antara 4 (empat) kelas pada angkatan yang sama. Selain itu, menurut pengamatan peneliti, mahasiswa pada kelas ini cenderung pasif dan kurang partisipatif dalam proses pembelajaran.
Langkah-langkah di dalam penelitian ini didasarkan kepada model Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dikembangkan oleh Lewis dalam Rochiati Wiriatmaja yang meliputi identifikasi gagasan/permasalahan umum, pengecekan di lapangan (reconnaissance), perencanaan umum, langkah tindakan pertama, implementasi tindakan pertama, evaluasi, dan revisi perencanaan umum. Model pembelajaran kooperatif yang diterapkan pada penelitian ini adalah Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Tipe TAI (Team Assisted Individualization yang dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual.

A. Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I
Siklus I dilaksanakan pada tanggal 27 Maret, 3 April, 10 April, dan 17 April tahun 2008. Kompetensi yang difokuskan pada siklus I ini adalah “Mahasiswa mampu menguraikan theme menjadi topic, subtopic, details, dan membuat topic sentence untuk sebuah paragraph.” Kegiatan pada siklus I meliputi perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan dan monitoring, refleksi hasil pengamatan, dan revisi perencanaan tindakan.

B. Pelaksanaan Pembelajaran pada Siklus II
Siklus II dilaksanakan sebanyak 4 (empat) kali pertemuan yaitu pada tanggal 15 Mei, 22 Mei, 29 Mei, dan 5 Juni 2008. Pada siklus II ini materi mulai dikembangkan untuk mendukung tercapainya kompetensi mahasiswa dalam membuat paragraf berbahasa Inggris yang baik dan efektif. Oleh sebab itu materi difokuskan pada Making a Topic Sentence and Develop It into a Good Paragraph. Kegiatan yang dilaksanakan pada siklus II sama dengan tahap-tahap pada siklus I hanya saja terdapat perbedaan langkah-langkah pada masing-masing tahap.

C. Pelaksanaan Pembelajaran pada Siklus III
Pada siklus III ini pun, secara umum rencana tindakan tetap sama dengan pada siklus I dan II, yaitu difokuskan pada diskusi kelompok. Sama halnya dengan kedua siklus sebelumnya, jumlah pertemuan pada siklus III ini adalah sebanyak 4 (empat) pertemuan, yaitu pada tanggal 12, 19, 26, dan 27 Juni 2008. Aktivitas pada siklus III ini difokuskan pada pengembangan kompetensi mahasiswa dalam correcting a paragraph. Tahap-tahapnya sama dengan pada siklus I dan II tetapi dengan penekanan yang berbeda.

D. Motivasi Belajar Writing 2
Untuk mengetahui bagaimana motivasi belajar mahasiswa setelah keseluruhan siklus dilaksanakan, mahasiswa sebagai subjek dalam penelitian ini diberikan kuesioner yang berisi 20 pertanyaan untuk mengungkap tingkat motivasi belajar mereka setelah tindakan. Kuesioner ini juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah model pembelajaran Cooperative Learning tipe Team Assisted Individualization (TAI) ini dapat membangkitkan motivasi mahasiswa untuk belajar writing.

E. Teknik Analisis Data
Beberapa teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kode dan mengkoding, catatan pinggir dan catatan reflektif, dan statistik deskriptif. Selanjutnya, dalam melakukan analisis terhadap hasil pekerjaan subjek digunakan berbagai kriteria yang meliputi Content, Organization, Discourse, Syntax, Vocabulary, dan Mechanics.

F. Indikator Keberhasilan Tindakan
Untuk memperoleh gambaran keberhasilan tindakan dalam penerapan model Cooperative Learning, khususnya tipe Team Assisted Individualization (TAI) pada penelitian ini, indikator-indikator yang digunakan meliputi aktivitas subjek dalam proses pembelajaran, motivasi belajar subjek, dan hasil belajar Writing subjek.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Tindakan dan Hasil Pembelajaran pada Siklus I
Pembelajaran pada siklus I ini dilaksanakan sebanyak empat pertemuan yaitu pada tanggal 27 Maret, 3 April, 10 April, dan 17 April 2008. Seluruh pertemuan pada siklus I ini berlangsung selama kurang lebih 2 x 50 menit. Materi yang dibahas dan dikembangkan adalah penguraian theme menjadi topic, subtopic, dan details serta pembuatan topic sentence.
Rerata pretest pada siklus I adalah 41,79, sedangkan rerata posttestnya 60,14 atau terjadi peningkatan skor tes sebesar 43,91 %. Sebanyak 19 (54,28 %) orang subjek mengalami peningkatan pada skor posttestnya, sementara 9 (25,71 %) orang subjek mengalami penurunan. Pada saat pelaksanaan pretest, sebanyak 1 orang subjek tidak masuk kuliah, sedangkan pada saat pelaksanaan posttest sebanyak 6 orang subjek yang tidak masuk kuliah. Dengan demikian, 7 (20 %) orang subjek tidak dapat ditentukan apakah mengalami peningkatan atau penurunan skor.
Sementara itu, dilihat dari nilai peningkatan masing-masing individu, sebanyak 15 (42,86 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 30, sebanyak 2 (5,71 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 20, sebanyak 6 (17,14 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 10, sebanyak 5 (14,28 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 5, dan sebanyak 7 (20 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 0 karena tidak mengikuti salah satu tes.

2. Tindakan dan Hasil Pembelajaran pada Siklus II
Proses pembelajaran pada siklus II difokuskan pada pengembangan subtopic menjadi sebuah paragraf yang baik (developing the topic sentence of a subtopic into a good paragraph). Siklus ini berlangsung selama 4 pertemuan yaitu pada tanggal 15 Mei, 22 Mei, 29 Mei, dan 6 Juni 2008.
Pengukuran kemampuan awal dan hasil pembelajaran pada siklus II dilakukan di awal dan akhir siklus. Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa rerata skor pada pretest adalah 78,88, sedangkan rerata skor pada posttest adalah 73,27. Dengan demikian terjadi penurunan skor sebesar 7,11 %. Sebanyak 13 (37,14 %) orang subjek mengalami peningkatan pada skor posttest, sementara 17 (48,57 %) orang subjek mengalami penurunan pada skor posttestnya. Sebanyak 1 orang subjek tidak masuk pada saat pelaksanaan pretest, sedangkan pada saat pelaksanaan posttest sebanyak 5 orang subjek tidak masuk, sehingga 5 (14,28 %) orang subjek tidak dapat ditentukan apakah mengalami peningkatan atau penurunan skor.
Sementara itu, dilihat dari nilai peningkatan untuk masing-masing individu, tidak satu orang subjek pun yang memperoleh nilai peningkatan 30, sebanyak 10 (28,57 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 20, sebanyak 10 (28,57 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 10, sebanyak 10 (28,57 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 5, dan sebanyak 5 (14,28 %) orang subjek yang tidak memperoleh nilai peningkatan karena tidak mengikuti salah satu tes atau kedua-duanya.

3. Tindakan dan Hasil Pembelajaran pada Siklus III
Sama halnya dengan kedua siklus sebelumnya, siklus III ini terdiri dari 4 pertemuan, masing-masing pertemuan selama kurang lebih 100 menit. Pertemuan-pertemuan tersebut terjadi pada tanggal 12, 19, 26, dan 27 Juni 2008. Materi pada siklus ini difokuskan pada mengoreksi kesalahan pada paragraf, baik itu kesalahan pada grammar, verb tense, vocabulary, punctuation, maupun pada spelling.
Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa rerata skor pretest adalah 62,42, sedangkan rerata skor posttest adalah 72,67. Ini berarti terjadi peningkatan rerata skor sebesar 9,25 atau 27,72 %. Sebanyak 24 (68,57 %) orang subjek mengalami peningkatan skor dan hanya 2 (5,71 %) orang subjek yang mengalami penurunan skor. Sebanyak 9 (25,71 %) orang subjek tidak mengikuti salah satu tes atau kedua-duanya sehingga tidak dapat diketahui apakah mengalami peningkatan atau penurunan skor.
Sementara itu, dilihat dari nilai peningkatan, sebanyak 7 (20 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 30, sebanyak 16 (45,71 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 20, sebanyak 2 (5,71 %) orang subjek memperoleh nilai peningkatan 10, tidak ada subjek yang memperoleh nilai peningkatan 5, dan 10 (28,57 %) orang subjek tidak memperoleh nilai peningkatan karena tidak mengikuti salah satu tes atau kedua-duanya.
Dari skor hasil pretest dan posttest siklus III ini, dosen memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan rerata nilai peningkatan masing-masing kelompok dengan kriteria cukup, baik, sangat baik, dan sempurna. Kelompok I memiliki rerata nilai peningkatan 16 dengan kriteria baik, kelompok II memiliki rerata nilai peningkatan 4 dengan kriteria cukup, kelompok III memiliki rerata nilai peningkatan 24 dengan kriteria sangat baik, kelompok IV memiliki rerata nilai peningkatan 16 dengan kriteria baik, kelompok V memiliki rerata nilai peningkatan 18 dengan kriteria baik, sementara itu kelompok VI memiliki rerata nilai peningkatan 16 dengan kriteria baik dan kelompok VII memiliki rerata nilai peningkatan 16 dengan kriteria baik.

4. Motivasi Belajar Writing dan Evaluasi Kelompok setelah Tindakan Pembelajaran
Rerata skor motivasi adalah 78,697. Dengan rerata skor ini tingkat motivasi mahasiswa dalam proses pembelajaran Writing 2 dapat dikatakan cukup tinggi.

5. Kesulitan-kesulitan yang Dihadapi Subjek dalam Belajar Writing
Peneliti melakukan interviu sebanyak tiga kali (tanggal 10 April 2008, 15 Mei 2008, dan 22 Mei 2008) terhadap 5 orang subjek pada masing-masing tahapan interviu (sehingga total 15 subjek) guna memperoleh data tentang kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi dalam belajar writing dan pendapat mereka mengenai model Cooperative Learning tipe Team Assisted Individualization (TAI) yang diterapkan pada proses pembelajaran Writing 2.
Dari hasil interviu tersebut diketahui bahwa subjek mengalami kesulitan pada structure dan grammar, serta penguasaan vocabulary, subjek merasa kesulitan sharing dalam kelompok karena rekan-rekan satu kelompoknya yang lebih pandai merasa keberatan untuk membagi pengetahuannya, anggota kelompok yang sudah bisa tidak mau mengajari anggota kelompok yang belum bisa, sejumlah mahasiswa tinggal di rumah orang tuanya (tidak indekost dengan rekan-rekan mahasiswa lainnya) sehingga tidak bisa bertanya ketika mengalami kesulitan dalam belajar, dan pembagian kelompok untuk mata kuliah Writing 2 ini dirasakan lebih kondusif dan menyenangkan karena kemampuan anggota kelompok yang bervariasi serta tiap-tiap anggota yang makin menyadari tugas dan kewajibannya membuat kelompok makin kompak dan solid untuk belajar bersama. Selain itu, pemberian tugas, pembahasan hasil tugas, dan klarifikasi oleh dosen cukup memacu semangat mahasiswa dalam belajar.

B. Pembahasan
1. Tindakan dan Hasil Pembelajaran pada Masing-masing Siklus
Pretest dan posttest siklus I dikerjakan oleh subjek secara individu. Tujuannya adalah untuk mengetahui kemampuan masing-masing individu subjek baik sebelum maupun setelah pelaksanaan tindakan. Dari hasil pretest dan posttest dapat diketahui bahwa sebagian besar subjek mengalami peningkatan skor. Hal ini menyebabkan skor hasil belajar secara keseluruhan meningkat pula. Peningkatan yang terjadi sebesar 43,91 %, yaitu dari skor awal 41,79 menjadi 60,14.
Meskipun demikian, dari analisis yang dilakukan dosen terhadap hasil pekerjaan subjek pada saat pretest ditemukan fakta bahwa sebagian besar subjek atau mahasiswa tidak memberikan jawaban pada item perintah membuat topic sentence. Bahkan ada beberapa subjek yang tidak mengerti sama sekali maksud soal meskipun pada saat pelaksanaan pretest dosen sudah memberikan gambaran maksud soal. Subjek yang tidak memahami maksud soal ini lalu membuat paragraf pendek tanpa mengurai theme menjadi topic, topic menjadi subtopic, dan memberikan details untuk masing-masing subtopic.
Pada siklus II, cara pengerjaan pretest dan posttest berbeda. Pretest dikerjakan secara berkelompok sedangkan posttest dikerjakan secara individu. Hal ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan hasil jika dua tes dengan tingkat kesulitan setara dikerjakan secara berkelompok dan secara individu. Kedua tes tersebut merupakan pengembangan dari tes untuk siklus I, yaitu mengurai theme menjadi topic, subtopic, dan details, membuat topic sentence dan kemudian mengembangkannya menjadi paragraf. Hanya saja themes pada posttest berbeda dengan yang diberikan pada pretest. Aktivitas membuat paragraf yang baik merupakan fokus inti dari keseluruhan proses pembelajaran mata kuliah Writing 2 karena menjadi dasar bagi mata kuliah Writing 3 nantinya.
Analisis terhadap hasil pretest menunjukkan bahwa nilai pretest cukup baik dengan rentangan nilai antara 76 – 87. Hal ini dimungkinkan karena pretest dikerjakan secara berkelompok, sehingga sesama anggota kelompok dapat saling membantu dalam menyelesaikan tugas. Meskipun demikian, agar subjek fokus pada kelompoknya masing-masing tiap kelompok diberi theme yang berbeda sehingga dapat dilihat kemampuan masing-masing kelompok dan tidak ada kelompok yang hasil karangannya sama.
Lebih banyak subjek yang mengalami penurunan pada skor posttest menyebabkan rerata skor posttest juga menurun. Hal ini kemungkinan disebabkan cara pengerjaan soal pretest dengan posttest yang berbeda walaupun tingkat kesukaran soal diupayakan setara. Soal pada pretest yang dikerjakan secara berkelompok menyebabkan subjek dapat memadukan ide dan pendapatnya dengan rekan-rekan satu kelompoknya. Kumpulan hasil pemikiran dari berbagai tingkatan kemampuan yang berbeda ini akan bersifat saling melengkapi sehingga hasil pekerjaan pun akan menjadi lebih baik. Berbeda halnya dengan saat mengerjakan soal posttest, subjek diharuskan mengerjakan soal secara individual sehingga sejumlah subjek skornya menurun. Meskipun demikian, tetap ada subjek yang skornya meningkat sehingga perbandingan antara jumlah subjek yang skornya meningkat dengan yang skornya menurun tidak terlalu jauh.
Pada siklus III, soal pretest maupun posttest dikerjakan secara berkelompok. Skor hasil pretest memiliki rerata 62,42, sedangkan rerata skor posttest adalah 72,67. Ini berarti terjadi peningkatan rerata skor hasil tes sebesar 10,25 atau 16,42 %. Peningkatan rerata skor terjadi karena banyaknya jumlah subjek yang skornya meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan cara pengerjaan pretest dan posttest yang dilakukan secara berkelompok.
Sementara itu, dari skor hasil tes pada siklus III dapat diketahui pula rerata nilai peningkatan yang diperoleh masing-masing kelompok. Sebagian besar kelompok memperoleh rerata peningkatan nilai yang cukup tinggi dengan kriteria baik, bahkan ada yang memperoleh predikat sempurna karena rerata peningkatan nilai yang diperoleh cukup signifikan. Meskipun demikian, ada satu kelompok yang rerata nilai peningkatannya rendah sehingga hanya memperoleh predikat cukup. Ini disebabkan beberapa anggota kelompoknya tidak berangkat sewaktu dilaksanakan posttest sehingga tidak bisa memberikan kontribusi terhadap kelompoknya. Yang menjadi keunggulan model pembelajaran kooperatif ini adalah selalu menghargai setiap upaya yang dilakukan individu maupun kelompok, sehingga serendah apapun nilai yang diperoleh, dosen tidak berhak memberikan predikat buruk.

2. Motivasi Belajar Writing setelah Tindakan Pembelajaran
Berdasarkan hasil analisis terhadap skor hasil pengukuran tingkat motivasi mahasiswa dapat diketahui bahwa rerata skor adalah 78,69. Dari rerata ini, yang meskipun tidak terlalu tinggi, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran kooperatif dapat menumbuhkan motivasi mahasiswa dalam dalam belajar writing.
Selain dilihat dari skor pengukuran, hasil interviu yang dilakukan terhadap 15 subjek menunjukkan bahwa model pembelajaran ini relatif lebih interaktif, menyenangkan, dan tidak membosankan. Hal ini disebabkan karena model pembelajaran ini tidak menekankan pada metode ceramah semata yang hanya bersifat satu arah. Adanya pemberian latihan-latihan yang harus didiskusikan secara berkelompok membuat mahasiswa bisa saling bertukar ide, pendapat, dan pemikiran dengan rekan-rekan satu kelompoknya yang memiliki tingkat kemampuan dan latar belakang yang bervariasi. Dosen juga terlibat secara aktif dengan memonitor jalannya diskusi dengan berkeliling kelas dan berupaya memberikan bantuan jika mahasiswa mengalami kesulitan.
Dalam proses pembelajaran dosen juga memberikan kesempatan yang luas kepada mahasiswa untuk saling melontarkan pendapat dan sanggahan pada diskusi tingkat kelas. Meskipun demikian, dosen tetap memberikan klarifikasi untuk menghindari misunderstanding pada mahasiswa. Selalu diupayakan tercipta suasana rileks tetapi tetap terkendali agar mahasiswa tidak merasa takut dan tertekan selama proses pembelajaran sehingga mereka dapat leluasa berpikir dan mengeluarkan ide-idenya.

3. Kesulitan-kesulitan yang Dihadapi Subjek dalam Belajar Writing
Pada proses pembelajaran writing ini, ada beberapa hal yang dianggap mahasiswa merupakan kendala dalam menguasai keterampilan writing. Yang pertama adalah ketika ada rekan-rekan satu kelompok yang sudah memahami materi tetapi tidak mau berbagi dengan rekan-rekan yang belum paham. Ini mengakibatkan mahasiswa yang memiliki kemampuan kurang kemudian tidak merasa cukup percaya diri untuk mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya. Akan tetapi hal ini sudah diupayakan diminimalisir dengan teknik pembagian kelompok yang memperhatikan karakteristik tiap-tiap individu.
Yang kedua adalah kesulitan yang dialami mahasiswa yang tidak tinggal atau indekost di sekitar kampus STAIN, kesulitan yang dihadapi adalah ketika belajar di rumah dan tidak memahami materi yang harus dipelajari, mereka tidak bisa bertanya kepada orang lain di sekitarnya. Berbeda halnya dengan mahasiswa yang indekost, terlebih lagi yang tinggal bersama-sama dengan teman-teman sesama mahasiswa program studi Bahasa Inggris, mereka memiliki kesempatan yang luas untuk saling bertanya dan sharing pengetahuan.
Dari data empiris yang diperoleh dengan menganalisis hasil pekerjaan mahasiswa berupa paragraf-paragraf berbahasa Inggris yang dikerjakan secara berkelompok dapat diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan pada grammar dan content. Pada grammar, banyak kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan bahasa Inggris. Banyak pula kesalahan pada verb tense dan pemilihan vocabulary. Pada verb tense, ketidaksesuaian terjadi antara subject dengan verbnya, misalnya “It make many women is raped by the man” atau “Japan have quality and quantity better than the other countries”. Kesalahan juga banyak terjadi pada pembuatan noun phrase, yaitu kesalahan dalam menempatkan noun inti (head noun) dengan pre- atau post-modifiernya yang terbalik.
Selain itu, kesulitan juga dialami mahasiswa dalam menyesuaikan content dengan subtopicnya. Mahasiswa dituntut untuk menggunakan penalarannya sehingga dapat membuat paragraf yang logis dan tidak menyimpang dari outlinenya. Sejumlah paragraf yang dibuat mahasiswa tidak diperkuat oleh supporting details atau kalimat-kalimat pendukung yang bisa memperjelas statement yang mereka tulis. Seringkali hanya diberikan contoh-contoh pada paragraf tersebut tanpa diberikan sedikit uraian tentang contoh-contoh tersebut.

V. SIMPULAN

Berdasarkan analisis dan pembahasan terhadap temuan-temuan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) tipe Team Assisted Individualization (TAI ) dapat meningkatkan kemampuan writing mahasiswa dan menumbuhkan motivasi mahasiswa dalam belajar writing. Kesulitan-kesulitan yang dialami mahasiswa adalah pada grammar, verb tense, dan pemilihan vocabulary, penyesuaian content dengan outline, dan pembuatan supporting details. Pada proses pembelajarannya, kesulitan juga dialami mahasiswa dalam bekerja sama dengan rekan-rekan sekelompoknya ketika ada anggota kelompok yang sudah memahami materi tetapi tidak mau menjelaskan kepada anggota kelompok yang belum bisa. Selain itu, bagi mahasiswa yang tinggal jauh dari kampus, kesulitan dialami ketika mereka harus belajar di rumah dan tidak memahami materinya, mereka tidak dapat bertanya kepada orang-orang di sekitarnya.

REFERENSI

Anita Lie, 2002, Cooperative Learning : Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas, Jakarta: PT Grasindo.

Brown, 2001, Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Paedagogy, New York: Addison Wesley Longman.

Ellis, Carol Ann & Reed, Cheryl, 2003, New Directions for Writers Volume 1: College Writing and Beyond, New York: Addison Wesley Longman.

Hyland, Ken, 2002, Teaching and Researching Writing, England: Pearson Education.

Johnson, D.W. & Johnson, R.T., 1991, Learning Together and Alone: Cooperative, Competitive, and Individualistic Learning (3rd edition), Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall.

M. Alisuf Sabri, 1993, Pengantar Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Nurhadi, 2003, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL), Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Rochiati Wiriatmaja, 2005, Metode Penelitian Tindakan Kelas, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rosenberg, Vivian M., 1989, Reading, Writing, Thinking, New York: Random House.

Siberman, Mel, 2000, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject, terjemahan: Sarjuli dkk, Jakarta: Penerbit YAPPENDIS.

Slavin R., 1990, Cooperative Learning: Theory, Research and Practice, Englewoods Cliff, NJ: Prentice-Hall.

Penulis dilahirkan di Metro tanggal 29 Agustus 1975. Menyelesaikan S1 Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 1999 dan S2 Penelitian & Evaluasi Pendidikan Program Pascasarjana di universitas yang sama pada tahun 2003. Bertugas sebagai pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang.

Kamis, 06 Agustus 2009

PENGEMBANGAN INSTRUMEN EVALUASI KEMAMPUAN MEMAHAMI TEKS BERBAHASA INGGRIS MAHASISWA D3 BAHASA INGGRIS STAIN JURAI SIWO METRO

 Yusti Arini

Evaluation is one of the important steps in the learning process. By conducting an evaluation, we can expect to obtain the information about the extent the learning objectives have been reached. To conduct a good evaluation, a good and valid instrument is needed. Some problems might come up concerning with the evaluation are the availability of the valid instrument, the lecturer’s competence in choosing or even making a valid instrument, the lecturer’s competence in analyzing and interpreting the test results and the conduct of evaluation.
This research is aimed at finding some information about the internal characteristics of the test that will be developed to measure the students’ ability in reading English texts, the construct validity of the test, the students’ ability in reading English texts and the difficulties the students face in reading English texts.
This research was conducted by trying out a reading test consisting of 50 items. The first try out was given to 63 semester IV students of D3 English Program of STAIN Jurai Siwo Metro. The second try out was given to 101 semester III students of the same major. The results of the test were analyzed by using several techniques. The first analysis was done by using the item analysis card. The second analysis was done by using the SPSS 11.0 for Windows program , that is, the factor analysis and the descriptive statistics.
The research findings show that the instrument has a fairly good validity (the KMO value is 0,560) and reliability (the reliability index is 0,755). The difficulty index is 0,472; it means that the instrument is in the mediate level. The discriminating index is 0,356; it means that the instrument is good in differentiating the students’ abilities. Based on the results, it can be concluded that the reading instrument that is developed is categorized to be a good and valid instrument.


I. PENDAHULUAN
Di Indonesia, bahasa Inggris merupakan salah satu bidang yang diajarkan pada lembaga pendidikan formal. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, bahasa Inggris diajarkan sebagai salah satu bidang studi. Sementara itu, pada tingkat pendidikan tinggi, banyak lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki jurusan atau program studi yang khusus membidangi bahasa Inggris. STAIN Jurai Siwo Metro yang merupakan lembaga pendidikan berbasis agama Islam, memiliki program studi D3 Tadris Bahasa Inggris yang bernaung di bawah Jurusan Tarbiyah.
Pada prodi tersebut, seluruh keterampilan berbahasa Inggris yaitu reading, writing, speaking, listening, dan translation menjadi mata kuliah yang diajarkan. Berbicara mengenai pembelajaran bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, keterampilan membaca merupakan salah satu skill yang sangat penting untuk diajarkan, mengingat penguasaan membaca teks berbahasa Inggris akan menunjang penguasaan literatur untuk mata kuliah-mata kuliah yang lain. Oleh karena itu, penting untuk selalu meningkatkan kualitas pembelajaran membaca ini dalam rangka meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam bahasa Inggris secara keseluruhan.
Untuk mewujudkannya, evaluasi merupakan salah satu langkah penting yang harus dilaksanakan bersamaan dengan proses belajar mengajar. Dengan pelaksanaan evaluasi hasil belajar diharapkan dapat diperoleh informasi tentang sejauh mana tujuan belajar telah dicapai, baik bagi pengajar, mahasiswa, maupun pihak yang berkaitan dengan lembaga pendidikan.
Sedemikian pentingnya pelaksanaan evaluasi; oleh karena itu harus dilaksanakan secara baik dan standar. Untuk itu pula, diperlukan instrumen atau alat ukur yang standar, alat ukur yang berkualitas bagus sehingga evaluasi yang dilaksanakan benar-benar menghasilkan informasi akurat dan dapat memberikan feedback seperti yang diharapkan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditengarai masalah-masalah yang dimungkinkan muncul terkait dengan evaluasi. Masalah-masalah tersebut antara lain meliputi ketersediaan alat ukur yang standar, kemampuan dosen pengajar dalam memilih atau bahkan membuat alat ukur yang standar, kemampuan dosen dalam menganalisis dan menginterpretasi hasil pengujian, serta pelaksanaan pengukuran dan penilaian yang sesuai prosedur.
Penelitian hanya dibatasi pada masalah pengembangan instrumen tes membaca (reading comprehension test) termasuk mengetahui karakteristik internal tes tersebut serta pada kemampuan dan kesulitan yang dihadapi mahasiswa dalam memahami teks berbahasa Inggris.
Masalah pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakteristik internal tes yang akan dikembangkan untuk mengukur tingkat kemampuan membaca mahasiswa D3 Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro?
2. Bagaimanakah tingkat validitas konstruk perangkat tes yang akan dikembangkan tersebut?
3. Bagaimanakah tingkat kemampuan memahami teks berbahasa Inggris mahasiswa D3 STAIN Jurai Siwo Metro?
4. Kesulitan-kesulitan pada indikator keterampilan membaca yang mana saja yang dihadapi mahasiswa D3 STAIN Jurai Siwo Metro?
Sejalan dengan rumusan masalah yang akan dikaji dan diteliti, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengembangkan instrumen tes kemampuan membaca teks berbahasa Inggris yang sesuai dengan pedoman pembuatan butir soal, memiliki karakteristik internal (tingkat kesukaran, indeks daya beda, dan distraktor) yang baik, dan memiliki tingkat validitas serta reliabilitas yang baik.
2. Mengetahui tingkat kemampuan mahasiswa D3 Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro dalam memahami teks berbahasa Inggris dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.



II. KAJIAN TEORI
Proses membaca melibatkan pemerolehan makna yang dimaksudkan oleh pembaca dan kontribusi pembaca sendiri dalam bentuk interpretasi, evaluasi, dan refleksi mengenai makna-makna tersebut. Membaca berarti memahami teks tertulis dengan cara memperoleh informasi yang dibutuhkan seefisien mungkin.
Munby merinci beberapa komponen keterampilan membaca yang disebutnya sebagai microskills, meliputi: (1) recognizing the script of a language atau mengenali tulisan suatu bahasa, (2) deducing the meaning and use of unfamiliar lexical items atau menelusuri makna dan penggunaan unsur-unsur kebahasaan yang masih jarang digunakan, (3) understanding explicitly stated information atau memahami informasi yang dinyatakan secara eksplisit, (4) understanding information when not explicitly stated atau memahami informasi yang dinyatakan secara implisit, (5) understanding conceptual meaning atau memahami makna konseptual, (6) understanding the communicative value (function) of sentences or utterances atau memahami nilai atau fungsi komunikatif suatu kalimat atau ucapan, (7) understanding relations within the sentence atau memahami hubungan dalam kalimat, (8) understanding relation between the parts of a text through lexical cohesion devices atau memahami hubungan antar bagian teks melalui sarana kohesi leksikal, (9) understanding relation between the parts of a text through grammatical cohesion devices atau memahami kohesi antar bagian dalam teks melalui sarana kohesi gramatikal, (10) interpreting text by going outside it atau menginterpretasi teks dengan cara menyelami makna di luar teks, (11) recognizing indicators in discourse atau mengenali indikator berdasarkan diskurskusnya, (12) identifying the main point or important information in a piece of discourse atau mengidentifikasi pokok pikiran atau informasi penting pada suatu potongan diskurskus, (13) distinguishing the main idea from supporting details atau membedakan ide pokok dari unsur-unsur penunjang, (14) extracting salient points to summarize (the text, an idea etc.) atau menyarikan poin-poin penting untuk meringkas suatu teks, ide, atau lainnya (15) selective extraction of relevant points from a text atau menyarikan poin-poin yang relevan dari teks untuk menjawab pertanyaan, (16) basic reference skills atau keterampilan menemukan rujukan, (17) skimming atau membaca cepat dengan tujuan memperoleh intisari keseluruhan isi teks (18) scanning atau mencari informasi yang lebih spesifik pada teks, dan (19) transcoding information into diagrammatic display atau mengubah bentuk informasi ke dalam bentuk tabel, grafik, diagram dan sebagainya.
Evaluasi memiliki peranan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar (PBM), karena evaluasi merupakan proses sistematis untuk menentukan sejauh mana tujuan pengajaran telah dicapai, melalui pengukuran dengan menggunakan alat ukur.
Mehrens mengemukakan bahwa manfaat evaluasi berkaitan dengan pengajar dan pelajar. Bagi pengajar, evaluasi sangat penting dalam memberikan data tentang prilaku (behaviour) pelajar; membantu dalam menentukan, menyaring, dan menjelaskan tujuan realistis pengajaran kepada masing-masing pelajar; membantu dalam mengukur tingkat tujuan yang telah dicapai; dan membantu pengajar dalam memperbaiki teknik pembelajaran. Sementara itu, manfaat evaluasi bagi pelajar antara lain, dapat mengkomunikasikan tujuan pembelajaran, meningkatkan motivasi, mengetahui kebiasaan belajar yang baik, dan memberi feedback bagi pelajar mengenai kelemahan dan kelebihannya.
Pada umumnya alat ukur yang dapat digunakan dalam melaksanakan evaluasi belajar dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu teknik tes dan teknik non tes. Achievement test merupakan tipe tes yang paling tepat untuk mengukur tingkat pengetahuan, keterampilan, atau hasil belajar sebagai suatu prestasi. Dalam hal ini, tes prestasi dapat menentukan sejauh mana pelajar mengetahui tentang topik tertentu, atau sejauh mana pelajar dapat mengembangkan keterampilan atau kemampuan tertentu yang telah dipelajarinya.
Adapun bentuk tes prestasi dapat dikategorikan kepada (1) bentuk tes subjektif, umumnya berbentuk essay (uraian), dan (2) bentuk tes objektif, dalam bentuk (a) tes butir pilihan berupa tes benar-salah (true-false test), pilihan ganda (multiple-choice test), menjodohkan (matching test), (b) tes butir melengkapi (completion test), dan (c) tes butir jawaban singkat (short-answer test).
Tujuan pembelajaran yang dihasilkan melalui pengajaran bahasa menunjukkan prilaku berbahasa pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Adapun tujuan utama dari penilaian keterampilan membaca adalah untuk mengumpulkan informasi relevan yang akan menjadi referensi dalam menentukan keputusan tentang kemampuan perorangan dalam aktifitas membaca.
Pada umumnya bentuk tes yang digunakan untuk evaluasi dalam aspek bahasa adalah bentuk tes multiple-choice (four options). Bentuk tes ini efisien untuk mengukur pemahaman atau kemampuan berpikir, maupun hasil belajar lainnya, karena distraktor (pengecoh) yang sangat mirip berfungsi untuk mengecoh pelajar (yang dites) sehingga memacu ketajaman berpikir dan membuatnya berhati-hati memilih alternatif jawaban yang paling tepat. Namun kelemahan bentuk tes ini adalah adanya kemungkinan peserta tes menebak jawaban (guessing).
Arikunto mengemukakan lima kriteria yang dapat dijadikan pedoman dalam menilai suatu tes, yaitu validitas, reliabilitas, objektifitas, praktikalitas, dan ekonomis. Sementara itu, menurut Bachman , syarat paling penting yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan, penginterpretasian, dan penggunaan suatu tes adalah validitas, yang dapat diartikan sebagai konsep terpadu yang terkait dengan kelayakan dan ketepatan metode yang kita gunakan untuk menginterpretasikan dan menggunakan skor tes.
Allen dan Yen menyatakan bahwa suatu tes memiliki validitas bila tes tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas dapat dinilai dari berbagai cara, tergantung pada tes dan maksud penggunaannya. Ada tiga tipe utama validitas yang meliputi validitas isi (content validity), validitas yang terkait dengan criteria (criterion-related validity), dan validitas konstruk (construct validity).
Selanjutnya, raliabilitas suatu tes adalah kesesuaian antara dua upaya yang dilakukan untuk mengukur trait yang sama melalui metode yang sangat serupa. Ada tiga pendekatan untuk mengestimasi reliabilitas suatu tes khususnya dalam tes bahasa yang meliputi (1) estimasi konsistensi internal, (2) estimasi stabilitas, dan (3) estimasi ekuivalensi.
Selain kedua karakteristik di atas, analisis butir soal akan menghasilkan data tentang tingkat kesukaran butir soal, indeks daya beda butir soal, dan berfungsi tidaknya distraktor (pengecoh). Tingkat kesukaran (dilambangkan dengan p) ialah sukar atau kurang sukarnya butir itu dijawab oleh peserta tes. Indeks daya beda (dilambangkan dengan d) ialah kemampuan butir untuk membedakan kemampuan peserta tes yang dapat menjawab dengan yang tidak dapat menjawab butir soal.
Selanjutnya, Depdiknas melalui Puslitbang Sisjian telah membuat pedoman penelaahan butir soal pilihan ganda yang meliputi aspek materi, konstruksi, dan bahasa .

III. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di STAIN Jurai Siwo Metro dengan subjek penelitian mahasiswa semester IV Program Studi D3 Bahasa Inggris Jurusan Tarbiyah STAIN Jurai Siwo Metro Tahun Akademik 2005/2006 sebanyak 63 mahasiswa sebagai responden untuk uji coba pertama dan mahasiswa semester III pada Prodi yang sama Tahun Akademik 2006/2007 sebayak 101 mahasiswa sebagai responden untuk uji coba kedua.
Instrumen kemampuan membaca teks berbahasa Inggris pada penelitian ini dikembangkan melalui beberapa tahap yaitu, menetapkan tujuan tes, mengkaji teori, merancang spesifikasi tes / kisi-kisi butir soal, menulis soal, dan menelaah serta merevisi tes.
Instrumen yang tersusun berbentuk seperangkat tes pilihan ganda (multiple choice) sebanyak 50 butir dengan 4 option atau pilhan jawaban. Bentuk soal untuk masing-masing butirnya disesuaikan dengan teks atau wacana yang diacu oleh soal. Soal-soal tersebut ada yang berbentuk pertanyaan dan ada pula yang berbentuk kalimat pernyataan. Sementara itu, teks yang diacu untuk membuat item pertanyaan dibuat dalam berbagai bentuk agar lebih variatif sehingga memacu mahasiswa agar dapat memahami berbagai teks bahasa Inggris yang berbeda; ada yang berbentuk wacana atau paragraf, artikel koran, iklan, definisi kata dari kamus, maupun indeks.
Data, berupa hasil pelaksanaan tes, dikumpulkan melalui pemberian atau uji coba tes sebanyak dua kali kepada dua kelompok subjek penelitian di atas. Data hasil tes pertama dijadikan dasar untuk menganalisis karakteristik internal (antara lain tingkat kesukaran, indeks daya beda, distraktor, validitas, dan reliabilitas) instrumen tersebut guna merevisi perangkat tes yang akan dijadikan sebagai instrumen evaluasi. Perangkat tes yang telah dianalisis dan direvisi diujikan kembali kepada subjek untuk mengetahui tingkat kemampuan membaca subjek dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Ada dua jenis data dalam penelitian ini, yaitu perangkat tes yang dikembangkan sebagai instrumen evaluasi kemampuan membaca teks berbahasa Inggris dan lembar jawaban mahasiswa peserta tes. Yang pertama, perangkat tes dianalisis dengan menggunakan kartu telaah butir soal untuk mengetahui kesesuaian butir-butir soal dalam instrumen tes dengan pedoman telaah butir soal. Yang kedua, lembar jawaban mahasiswa dianalisis dengan menggunakan Program Iteman untuk mengetahui karakteristik internalnya sehingga dapat diketahui apakah tes tersebut sudah tergolong baik atau belum.
Selain itu, dilakukan juga analisis faktor dan analisis statistik deskriptif dengan menggunakan Program SPSS 11.0 for Windows terhadap hasil tes untuk mengetahui tingkat validitas konstruk perangkat tes dan rerata skor pada masing-masing microskill.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Setelah dilakukan pengambilan data yaitu berupa uji coba (try-out) perangkat tes kepada peserta tes sebanyak dua kali untuk dua kelompok yang berbeda, diperoleh hasil-hasil penelitian sebagai berikut:
1. Validitas, Reliabilitas, dan Karakteristik Internal Butir Soal
a. Hasil Uji Coba Pertama
Uji coba pertama dilakukan terhadap mahasiswa semester IV Prodi D3 Bahasa Inggris Jurusan Tarbiyah STAIN Jurai Siwo Metro Tahun Akademik 2005/2006 sebanyak 63 mahasiswa. Setelah dilakukan analisis terhadap hasil tes dengan menggunakan program SPSS for Windows 11 dan program Iteman diperoleh hasil-hasil sebagai berikut:

1) Validitas Tes
Jenis validitas yang ingin diketahui dari perangkat tes yang dikembangkan adalah validitas konstruk. Oleh karena itu, dilakukan analisis faktor dengan program SPSS 11.0 for Windows terhadap hasil tes berupa lembar jawaban kelompok uji coba pertama. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa harga KMO untuk kelompok uji coba pertama adalah sebesar 0,558. Ini berarti bahwa analisis faktor sudah cukup tepat dilakukan terhadap data tersebut. Nilai uji Bartlett untuk kelompok tersebut adalah sebesar 0,000 yang berarti sangat signifikan. Sementara itu, nilai kumulatif varian dari 13 faktor adalah sebesar 37,647%.
2) Reliabilitas Tes
Hasil analisis dengan program Iteman pada uji coba pertama menunjukkan bahwa indeks konsistensi internal instrumen tes adalah sebesar 0,726, yang berarti cukup tinggi.
3) Tingkat Kesukaran (Difficulty Index)
Tingkat kesukaran untuk tiap butir soal pada instrumen ini ditentukan berdasarkan kategori yang dikemukakan oleh Arikunto yaitu 0,00 – 0,30 berarti sukar, > 0,30 – 0,70 berarti sedang, dan > 0,70 berarti mudah. Soal yang ideal adalah soal yang memiliki indeks kesukaran sedang, karena soal yang terlalu mudah tidak akan memacu motivasi peserta tes untuk belajar dan soal yang terlalu sukar kadangkala membuat peserta tes frustasi.
Hasil analisis dengan program Iteman terhadap hasil uji coba tes yang pertama menunjukkan bahwa: (1) terdapat 15 (30%) butir soal yang tergolong mudah, yaitu soal nomor 3, 4, 9, 10, 15, 16, 17, 22, 25, 28, 29, 32, 34, 42, dan 47, (2) terdapat 27 (54%) butir soal yang tergolong sedang, yaitu soal nomor 2, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 20, 21, 23, 26, 27, 30, 31, 33, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 48, 49, 50, dan (3) terdapat 8 (16%) butir soal yang tergolong sukar, yaitu soal nomor 1, 5, 18, 19, 24, 35, 45, dan 46. Secara keseluruhan, rerata tingkat kesukaran perangkat tes pertama (mean P) adalah sebesar 0,549, yang berarti tingkat kesukaran perangkat tes tersebut termasuk dalam kategori sedang.
4) Indeks Daya Beda (Discrimination Index)
Penentuan tingkat daya beda untuk masing-masing butir soal didasarkan pada acuan yang dikemukakan oleh Ebel, dengan kategori sebagai berikut: (1) jelek, yaitu indeks daya beda di bawah 0,20, (2) cukup, yaitu indeks daya beda > 0,20 – 0,30, (3) baik, yaitu indeks daya beda > 0,30 – 0,40, dan (4) sangat baik, yaitu indeks daya beda > 0,40 – 1,00.
Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil uji coba tes yang pertama dapat diketahui indeks daya beda masing-masing butir soal sebagai berikut: (1) sebanyak 13 butir soal memiliki indeks daya beda di bawah 0,2, atau jelek, yaitu soal nomor 8, 13, 14, 18, 19, 20, 26, 33, 36, 45, 47, dan 50, (2) sebanyak 3 butir soal memiliki indeks daya beda antara 0,20 – 0,30, atau cukup, yaitu soal nomor 15, 34, dan 35, (3) sebanyak 11 butir soal memiliki indeks daya beda > 0,30 – 0,40, atau baik, yaitu soal nomor 2, 4, 5, 7, 9, 17, 21, 27, 28, 30, 46, dan (4) sebanyak 22 butir soal memiliki indeks daya beda > 0,40 atau sangat baik, yaitu soal nomor 3, 6, 10, 11, 12, 16, 22, 23, 25, 29, 31, 32, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 48, dan 49. Sementara itu, terdapat satu butir soal yang memiliki indeks daya beda negatif atau ditolak, yaitu soal nomor 24.

b. Hasil Uji Coba Kedua
Uji coba yang kedua dilakukan terhadap mahasiswa semester III Prodi D3 Bahasa Inggris Jurusan Tarbiyah STAIN Jurai Siwo Metro tahun akademik 2007/2008 sebanyak 101 mahasiswa dengan hasil sebagai berikut:
1) Validitas Tes
Berdasarkan hasil analisis faktor terhadap hasil tes uji coba kedua dapat diketahui bahwa nilai KMO untuk data dari kelompok uji coba kedua adalah sebesar 0,560. ini berarti bahwa analisis faktor sudah cukup tepat dilakukan terhadap data tersebut. Sementara itu, nilai uji Bartlett-nya adalah sebesar 0,000 yang berarti sangat signifikan. Nilai varian kumulatif ke 13 faktor yang tercakup dalam perangkat tersebut adalah sebesar 40,133%.
2) Reliabilitas Tes
Berdasarkan hasil analisis dengan program Iteman dapat diketahui bahwa nilai konsistensi internal perangkat tes yang kedua adalah sebesar 0,755, yang berarti tergolong tinggi.
3) Tingkat Kesukaran (Difficulty Index)
Setelah data berupa hasil tes dianalisis, masing-masing butir soal dikategorikan sebagai berikut: (1) sebanyak 7 (14%) butir soal termasuk dalam kategori mudah, yaitu soal nomor 3, 4, 20, 22, 25, 32, dan 46, (2) sebanyak 33 (66%) butir soal termasuk dalam kategori sedang, yaitu soal nomor 1, 2, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 21, 23, 26, 27, 28, 29, 330, 31, 33, 34, 37, 338, 39, 41, 42, 44, 46, 49, dan 50, dan (3) sebanyak 10 (20%) butir soal termasuk dalam kategori sukar, yaitu soal nomor 5, 12, 18, 24, 35, 36, 40, 43, 45, dan 48. Secara keseluruhan, rerata tingkat kesukaran perangkat tes kedua (mean P) adalah sebesar 0,472 yang berarti tingkat kesukaran perangkat tes tersebut termasuk dalam kategori sedang.
4) Indeks Daya Beda (Discrimination Index)
Hasil analisis data terhadap perangkat tes yang kedua menunjukkan bahwa: (1) sebanyak 12 (24%) butir soal memiliki indeks daya yang jelek, yaitu soal nomor 5, 6, 7, 11, 13, 14, 18, 22, 28, 30, 33, dan 35, (2) sebanyak 9 (18%) butir soal memiliki indeks daya beda cukup, yaitu soal nomor 9, 16, 21, 26, 29, 40, 41, 45, dan 48, (3) sebanyak 3 (6%) butir soal memiliki indeks daya beda baik, yaitu soal nomor 1, 2, 15, dan (4) sebanyak 24 (48%) butir soal memiliki indeks daya beda sangat baik, yaitu soal nomor 3, 4, 8, 10, 12, 17, 19, 20, 23, 25, 27, 31, 32, 34, 37, 38, 39, 42, 43, 44, 46, 47, 49, dan 50. Sementara itu, sebanyak 2 (4%) butir soal memiliki indeks daya beda negatif, yaitu soal nomor 24 dan 36. Secara keseluruhan, rerata indeks daya beda (mean biserial) pada perangkat tes yang kedua adalah sebesar 0,356, yang berarti perangkat tes tersebut memiliki indeks daya beda yang tergolong baik.

2. Tingkat Kemampuan Mahasiswa Prodi D3 Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro dalam Memahami Teks Bahasa Inggris
Berdasarkan hasil analisis dengan program Iteman terhadap lembar jawaban subjek penelitian baik untuk kelompok uji coba yang pertama maupun uji coba kedua dapat diketahui tingkat kemampuan mahasiswa Prodi D3 Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro dalam memahami teks berbahasa Inggris, yaitu bahwa kelompok uji coba pertama memiliki tingkat kemampuan merespon teks berbahasa Inggris sebesar 54,89%, sedangkan kelompok uji coba kedua memiliki tingkat kemampuan merespon sebesar 47,23%.

3. Kesulitan-kesulitan yang Dihadapi Mahasiswa Prodi D3 Bahasa Inggris STAIN Jurai Siwo Metro dalam Memahami Teks Berbahasa Inggris
Untuk mengetahui pada keterampilan membaca yang mana saja mahasiswa mengalami kesulitan, dilakukan analisis statistik deskriptif dengan Program SPSS 11.0 for Windows terhadap hasil tes subjek penelitian. Dari hasil analisis dapat diketahui rerata (mean) skor yang diperoleh subjek pada masing-masing microskill yang kemudian dikonversi ke dalam bentuk persentase. Pada microskill di mana persentase pencapaian tidak mencapai 50%, mahasiswa dianggap mengalami kesulitan pada microskill tersebut. Dapat diketahui bahwa pada empat jenis microskill mahasiswa memperoleh pencapaian di bawah 50%, yaitu pada microskill nomor (1) skimming (33,73%), (6) deducing the meaning and use of unfamiliar lexical items (36,77%), (10) understanding conceptual meaning (41,27%), dan (13) extracting salient points to summarize (14,28%).
Sementara itu, hasil uji coba kedua menunjukkan bahwa pada sebagian besar microskill, yaitu pada sembilan jenis microskill, mahasiswa memperoleh pencapaian di bawah 50%. Kesembilan microskill tersebut adalah: (1) skimming (36,88%), (5) understanding information when not explicitly stated (45,05%), (6) deducing the meaning and use of unfamiliar lexical items (37,29%), (7) understanding relations between the parts of a text through lexical cohesion devices (45,54%), (8) understanding relations between the parts of a text through grammatical cohesion devices (48,51%), (9) understanding the communicative value (function) of sentences & utterances (37,62%), (10) understanding conceptual meaning (15,84%), (12) selective extraction of relevant point from a text (44,05%), dan (13) extracting salient points to summarize (24,75%).
Hasil analisis faktor dengan program SPSS 11.0 for Windows menunjukkan bahwa harga KMO pada data hasil uji coba kedua, 0,560, lebih tinggi daripada harga KMO pada data hasil uji coba pertama, 0,558. Nilai kumulatif varian muatan faktor pada uji coba kedua pun lebih tinggi dibandingkan pada uji coba pertama, yaitu sebesar 40,133% dibandingkan dengan 37,647%. Ini berarti kemampuan perangkat tes pada uji coba kedua lebih tinggi dalam menjelaskan dimensi teori yang ingin diukur, atau dapat dikatakan bahwa tingkat validitas konstruk perangkat tes yang kedua lebih tinggi daripada perangkat tes yang pertama. Hal ini mungkin disebabkan jumlah responden pada kelompok uji coba yang kedua lebih banyak dibandingkan pada uji coba pertama sehingga kemampuan yang ditampilkan pun lebih beragam.
Berdasarkan analisis dengan program Iteman, dapat dilihat bahwa indeks konsistensi internal perangkat tes pada uji coba kedua adalah sebesar 0,755, berarti lebih tinggi dibandingkan pada hasil uji coba pertama, 0,726. Berarti pula tingkat reliabilitas pada perangkat tes yang kedua lebih tinggi dibandingkan pada perangkat tes yang pertama.
Meningkatnya indeks konsistensi internal tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingkat variabilitas skor tes pada uji coba kedua yang lebih tinggi dibandingkan pada uji coba pertama. Hal ini ditunjukkan oleh nilai varian skor tes pada hasil uji coba kedua yaitu sebesar 40,653 yang berarti lebih tinggi dibandingkan dengan nilai varian skor tes uji coba pertama, 34,056.
Sementara itu, kriteria suatu butir soal dapat diterima, harus revisi, atau ditolak sebagian besar berdasarkan tingkat kesukaran dan indeks daya bedanya. Sekalipun soal terlalu sukar atau terlalu mudah, namun apabila memiliki daya pembeda dan statistik pengecoh yang memenuhi kriteria, soal tersebut dapat dipilih dan diterima sebagai salah satu alternatif soal pada suatu perangkat tes.
Berdasarkan kriteria tersebut, dapat diketahui bahwa hasil uji coba perangkat tes yang pertama menunjukkan bahwa sebanyak 36 butir soal dapat diterima, 13 butir soal harus direvisi, dan 1 butir soal ditolak. Hasil uji coba perangkat tes yang kedua, yang merupakan perangkat tes pertama yang direvisi, menunjukkan bahwa 36 butir soal diterima, 12 butir soal harus direvisi jika ingin digunakan kembali, dan 2 butir soal ditolak atau harus diganti dengan soal yang baru. Yang menyebabkan soal harus direvisi adalah daya bedanya yang jelek sehingga tidak mampu membedakan subjek yang berkemampuan tinggi dengan yang berkemampuan rendah, sedangkan yang menyebabkan soal harus ditolak adalah karena daya bedanya negatif, atau terjadi kesalahan pada soal tersebut.
Secara keseluruhan, distraktor atau pengecoh, yakni pilihan jawaban selain kunci jawaban, pada butir-butir soal pada kedua perangkat tes tersebut dapat dikatakan cukup efektif karena sebagian besar di antaranya memiliki nilai biserial negatif.
Sementara itu, berdasarkan hasil analisis dengan program Iteman terhadap dua kelompok uji coba dengan dua perangkat tes yang berbeda dapat diketahui bahwa rerata tingkat kemampuan memahami teks berbahasa Inggris pada kelompok uji coba pertama adalah sebesar 27,444 (54,89%) dan pada kelompok uji coba yang kedua adalah sebesar 23,614 (47,23%). Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan memahami teks berbahasa Inggris pada mahasiswa Prodi D3 Bahasa Inggris Jurusan Tarbiyah STAIN Jurai Siwo Metro berada di bawah angka 60%, atau dapat dikatakan relatif rendah.
Selanjutnya, pada beberapa keterampilan membaca (microskills), kedua kelompok uji coba memiliki tingkat pencapaian di bawah 50%, atau dapat dikatakan mahasiswa mengalami kesulitan pada microskills tersebut. Pada kelompok uji coba yang pertama, hanya pada empat microskills mahasiswa mengalami kesulitan. Sementara itu, pada kelompok uji coba kedua, sebagian besar diantaranya, yaitu pada sembilan microskills, mahasiswa mengalami kesulitan. Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilakukan perbaikan atau peningkatan kemampuan dengan memberikan fokus lebih terhadap keterampilan-keterampilan di mana mahasiswa mengalami kesulitan.

V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari 13 indikator keterampilan membaca yang ingin diukur, ada 1 indikator yang tidak dapat terukur dengan baik karena semua butir soalnya tidak mengalami perbaikan karakteristik internal walaupun telah direvisi, yaitu indikator nomor 10 (understanding conceptual meaning), sehingga pada instrumen evaluasi yang dikembangkan hanya 12 indikator keterampilan membaca yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan memahami teks berbahasa Inggris mahasiswa.
2. Tingkat validitas isi instrumen evaluasi kemampuan membaca yang berupa perangkat tes pilihan ganda dianggap cukup baik karena dikembangkan berdasarkan pedoman telaah butir soal dari Puslitbang Sisjian.
3. Tingkat validitas konstruk perangkat tes yang dikembangkan dapat dikatakan cukup baik, karena dari hasil kedua uji coba, nilai KMO berada di atas 0,5 yaitu 0,558 pada uji coba pertama dan 0,560 pada uji coba kedua, nilai Bartlett pada kedua uji coba 0,000 yang berarti sangat signifikan, walaupun kumulatif nilai variannya masih kurang dari yang diharapkan karena berada di bawah 50%, yaitu 37,647% dan 40,133%.
4. Indeks konsistensi internal (Alpha) pada kedua perangkat tes adalah 0,726 dan 0,755, berarti tingkat reliabilitas kedua perangkat tes dapat dikategorikan cukup tinggi.
5. Karakteristik butir soal secara keseluruhan dapat dikatakan baik, dengan rerata tingkat kesukaran (Mean P) pada perangkat tes pertama sebesar 0,549 dan pada perangkat tes yang kedua 0,472, yang berarti kedua perangkat tes berada pada kategori sedang. Indeks daya bedanya menunjukkan rata-rata (Mean Biserial) 0,352 dan 0,356, berarti berada pada kategori baik.
6. Setelah dianalisis, pada perangkat tes pertama, sebanyak 36 butir soal diterima, 13 butir soal harus direvisi, dan 1 butir soal ditolak, sedangkan pada perangkat tes kedua, sebanyak 36 butir soal diterima, 12 butir soal harus direvisi, dan 2 butir soal ditolak.
7. Berdasarkan hasil analisis, rerata tingkat kemampuan merespons teks bacaan pada kelompok uji coba pertama adalah 54,89% dan pada kelompok uji coba kedua adalah 47,23%, sehingga dapat dikatakan mahasiswa memiliki tingkat kemampuan memahami teks berbahasa Inggris yang relatif rendah karena berada di bawah 60%.
8. Pada sejumlah keterampilan membaca, mahasiswa memiliki kemampuan merespons di bawah 50%, sehingga pada keterampilan tersebut mereka dianggap mengalami kesulitan; pada kelompok uji coba pertama, kesulitan dialami pada 4 (empat) indikator keterampilan membaca dan pada kelompok uji coba kedua, kesulitan dialami pada 9 (sembilan) indikator.

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, Lewis R., Psychological Testing and Assessment, Toronto: Allyn & Bacon Inc., 1988.

Akhadiah, Sabarti, Evaluasi dalam Pengajaran Bahasa, Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti, 1988.

Alderson, Charles, Assessing Reading, New York: Cambridge University Press, 2000.

Allen, Marry J. & Yen, Wendy M., Introduction to Measurement Theory, Monterey: Brooks/Cole Publishing Company, 1979.

Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1995.

Bachman, Lyle F., Fundamentals Considerations in Language Testing, Oxford: Oxford University Press, 1990.

Brown, Douglas H., Principles of Language Learning and Teaching, London: Prentice Hall, Inc., 2000.

Gronlund, Norman E., Constructing Achievement Test, London: Prentice-Hall Inc., 1990.

Lado, Robert, Language Teaching: A Scientific Approach, New Delhi: McGraw-Hill Publishing Co. Ltd., 1977.

Mehrens,William & Lehman, Irvin J., Measurement and Evaluation, New York: Holt, Rinehart Winston Inc., 1973.

Naga, Dali S., Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan, Jakarta: Gunadarma, 1992.

Walsh, Vincent, Reading Scientific Texts in English, Washington: Information Agency, 1982.

____________, Pedoman Penelaahan, Perbaikan, dan Perakitan Soal, Jakarta: Depdiknas Puslitbang Sisjian, 1989.

TELEVISI DALAM KONTROVERSI Mencermati Tayangan Televisi dari Berbagai Sisi

 Yusti Arini


Mass media, especially television, grows and develops into a form of audio visual media with specific characteristic. Nowadays, television, with its various programs, is becoming a source of information. By watching television, we are able to know the events taking place in the other parts of the world. It also displays life pictures that can give us ‘taste’ for our senses.
However, television can also become a media with ‘poisonous’ programs. In such a competitive situation, many TV stations try to present various entertaining programs. Most of which tend to give bad effects to their audience, especially teenagers and children. Sometimes, the programs can inspire them to be aggressive and impulsive, doing the violence.
As the member of the society, we, together with the government, must be responsible to solve the problems. Several efforts must be conducted, among others, making some policies concerning the TV programs. The parent must also control what their children watch and guide them with the religious values.




A. PENDAHULUAN
Media massa, khususnya televisi, tumbuh dan berkembang menjadi salah satu bentuk media audio visual dengan ciri dan sifat yang khas. Televisi dalam menyampaikan pesannya bersifat audio visual, dapat dilihat dan didengar, penyampaian pesan juga bisa secara langsung ke rumah-rumah pemirsanya. Televisi, si kotak ajaib ini, diakui atau tidak, telah mengambil sebagian besar waktu kita. Keberadaannya bukan lagi menjadi kebutuhan sekunder, tetapi dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer. Ia telah menjadi teman bagi keluarga kita; menjadi sumber informasi dan hiburan.
Memang, televisi bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi ia merupakan sumber informasi, ilmu pengetahuan, yang menyajikan gambar hidup, sehingga lebih dapat memberikan ‘rasa’ pada panca indera kita. Di sisi lain ia adalah media yang dapat ‘meracuni’ pemirsanya dengan berbagai program tayangannya. Kita dapat melihat bagaimana gelombang tsunami yang dahsyat meluluhlantakkan Aceh, hancurnya sebagian wilayah Yogya akibat gempa bumi, tanah longsor dan banjir di berbagai wilayah Indonesia bahkan dunia, kedahsyatan perang di belahan dunia lain nun jauh di sana; kesemua itu tak dapat diberikan oleh media lain seperti radio atau koran.
Berita dalam televisi tidak lagi berupa sekumpulan pesan dalam sistem piramida (terbalik atau tidak). Berita telah menjadi drama kemanusiaan. Kathleen Hall Jamicson menyebut kekuatan televisi ini “dramatisasi dan sensasionalisasi isi pesan”. Apa yang dapat dilakukan televisi - dengan kekuatan luar biasa - adalah memobilisasikan emosi pemirsa di sekitar gambaran dunia politik yang hidup, disederhanakan, dan bersifat melodramatik, di mana pujaan dan kutukan menjadi kutub-kutub magnetisnya.
Secara lebih ekstrim, Gerbner, seorang pakar komunikasi dan peneliti televisi di AS, menyebut televisi sebagai agama masyarakat industri. Televisi telah menggeser agama-agama konvensional. Khutbahnya didengar dan disaksikan oleh jamaah yang jumlahnya lebih besar dari agama manapun. Rumah ibadatnya tersebar di seluruh pelosok bumi; ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan, dan boleh jadi lebih banyak menggetarkan hati dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama-agama yang pernah ada.

B. TAYANGAN TELEVISI DAN EKSPLOITASI REMAJA
Perkembangan teknologi televisi yang sempat terhenti akibat Perang Dunia II tumbuh pesat pada akhir 1940an. Karena sifatnya yang menarik mata, sebagian besar siaran televisi adalah non berita, bisa dalam bentuk film, sinetron, kuis, talkshow, ataupun acara-acara hiburan lainnya.
Media televisi dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu yang bersamaan (broadcast). Penyampaian pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Pesan yang dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya ataupun menimbulkan kesan lain.
Hadirnya beberapa stasiun televisi di Indonesia patut dirayakan sebagai sebuah prestasi. Apalagi jika mengingat kontribusi yang telah mereka berikan dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Booming televisi swasta diakui telah mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat melalui sajian informasi yang disampaikan secara tajam, objektif, dan akurat.
Pendeknya, publik telah berhutang jasa kepada media televisi yang telah membantu masyarakat dalam memahami berbagai persoalan aktual di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Media televisi juga telah memperluas dan memperkaya wawasan publik dengan sajian acara dialog, debat, talk show, diskusi, dan berbagai acara informatif-edukatif lain.
Kehadiran stasiun baru dalam pertelevisian nasional mau tidak mau semakin mempertajam tingkat persaingan dalam bisnis di bidang ini. Sebagai konsekuensinya, para awak televisi harus memilih strategi tepat dalam menggaet segmen pemirsa. Upaya merebut hati pemirsa ini dilakukan sebagai bagian dari upaya meningkatkan rating sekaligus menaikkan iklan yang masuk.
Dalam iklim kompetisi tersebut, ternyata beberapa stasiun televisi memilih jalan pintas antara lain dengan mengeksploitasi dunia anak-anak dan remaja secara berlebihan. Eksploitasi ini diindikasikan dalam empat hal. Pertama, judul-judul sinetron remaja yang disajikan seringkali bertemakan vulgarisme, menantang, dan mengandung unsur pornografi. Kedua, pemain sinetron yang dipilih rata-rata berasal dari kalangan remaja belia atau bahkan sebagian masih berusia anak-anak.
Ketiga, jenis-jenis peran yang dimainkan oleh para artis remaja seringkali bertabrakan dengan norma pergaulan masyarakat dan belum sesuai dengan tingkat perkembangan psikologisnya. Para artis tersebut seringkali dipaksa memainkan adegan percintaan seperti berciuman, berpelukan, atau bergendongan sesuai dengan tuntutan skenario cerita.
Keempat, banyaknya alur cerita sinetron remaja yang mengambil setting anak-anak sekolah lengkap dengan seragam sekolah, lokasi sekolah, dan aneka pergaulan di dalam maupun luar kelas. Padahal jika dicermati, beberapa adegan sinetron yang bersetting sekolahan ini tidak sesuai dengan norma agama dan adat ketimuran yang berlaku.

C. TELEVISI: MERINDUKAN TAYANGAN EDUKATIF BAGI ANAK
Media televisi saat ini telah menjadi sahabat yang menemani anak-anak. Dalam keluarga modern yang para orang tuanya sibuk beraktifitas di luar rumah, televisi berperan sebagai penghibur, pendamping, bahkan “pengasuh” bagi anak-anak mereka. Banyaknya pilihan acara yang disuguhkan oleh berbagai stasiun televisi membuat anak semakin senang nongkrong di depan televisi. Pihak stasiun televisi pun berlomba-lomba menyajikan acara-acara yang memang khusus untuk konsumsi anak-anak, semisal sinetron anak-anak ataupun film-film kartun.
Kondisi ini tak pelak lagi dapat mempengaruhi perkembangan jiwa dan pikiran anak-anak. Mengapa demikian? Seperti telah diuraikan di muka, dibandingkan dengan media massa lain, seperti radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya, televisi memiliki sifat yang istimewa karena dapat menggabungkan antara unsur suara dan gambar sehingga dapat lebih dinikmati. Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk menyampaikan pesan.
Rivers menyebutkan, media bukan saja menjadi pembujuk kuat, namun media juga bisa membelokkan pola perilaku atau sikap-sikap yang ada terhadap suatu hal. sementara itu, Gerungan mengatakan bahwa pembentukan attitude tidak terjadi dengan sendirinya atau sembarangan saja. Pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia, dan berkenaan dengan objek tertentu. Interaksi sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompok dapat mengubah attitude atau membentuk attitude yang baru. Yang dimaksud dengan interaksi di luar kelompok adalah interaksi dengan hasil buah kebudayaan manusia yang sampai kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, tv, buku, risalah, dan lain-lain.
Tudingan terhadap media massa terutama televisi sebagai biang keladi tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Di sekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja menonton film cowboy di layar televisi, kemudian berlari ke halaman rumah, berguling-guling dan berteriak “dor dor..” sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang dapat diraihnya.
Sering pula kita mendengar ucapan-ucapan yang kurang pas bahkan cenderung kasar dan tidak etis mereka lontarkan meniru idolanya di televisi. Begitu pula bagaimana anak-anak meniru berbagai adegan sadis, sensual, dan erotik yang setiap saat dapat disaksikan di layar televisi. Tokoh-tokoh film anak seperti Dora Emon, Satria Baja Hitam, Power Rangers, Sinchan, Pokemon, dan yang lainnya begitu lekat dalam keseharian mereka. Padahal bila dicermati, sebagian sinetron atau film kartun, di mana terdapat tokoh-tokoh yang menjadi idola anak-anak, seringkali menyajikan adegan-adegan yang sarat dengan unsur kekerasan atau khayal yang membohongi mereka, bahkan pornografi.
Fakta baru yang cukup menggemparkan adalah jatuhnya beberapa korban yang bahkan hingga terenggut nyawanya akibat ulah teman-temannya sendiri. Penganiayaan dan pengeroyokan oleh anak-anak yang sering terjadi akhir-akhir dituding merupakan dampak dari tayangan acara Smack Down. Acara tersebut sejatinya merupakan konsumsi orang dewasa dan ditayangkan menjelang tengah malam. Namun kurangnya pengawasan orang tua menyebabkan banyaknya anak-anak yang ‘lolos’ dan ‘berhasil’ menonton tayangan ini.
Ditinjau dari ajaran Islam pun, banyak acara khusus anak mengandung unsur syirik dan takhayul. Film-film kartun semacam Dora Emon dan Pokemon atau sinetron-sinetron anak seperti Bidadari, Jin dan Jun, ternyata jelas-jelas mengajarkan bahwa makhluk dalam bentuk peri atau jin, atau tokoh-tokoh tertentu dapat memiliki kekuatan yang dapat mengatur hidup manusia. Dalam film Pokemon sering diucapkan “Bawalah Pokemonmu dalam saku dan kau siap untuk apa saja. Kau punya kekuatan dalam genggamanmu, gunakanlah!”.
Memang tak dipungkiri ada pula beberapa program acara televisi untuk anak yang bersifat informatif edukatif; menghibur dan mendidik anak serta memperkaya wawasan mereka, semisal Surat Sahabat, Laptop Si Unyil, dan Petualangan Si Bolang. Namun porsinya kurang berimbang dengan tayangan-tayangan yang kurang bersifat mendidik, atau bahkan yang bermutu rendah.
Anak-anak yang terlalu banyak menyaksikan televisi tanpa kontrol dapat dipastikan akan menjadi anak-anak agresif dan rawan dengan berbagai tindak kekerasan bahkan amoral. Mereka juga dapat menjadi anak-anak yang anti sosial dan kurang peka terhadap orang sekitar dan lingkungannya.

D. CARUT MARUT TAYANGAN TELEVISI DALAM BERBAGAI TEMA
Teknologi, sifat dasar media elektronik, dan kebutuhan akan dukungan ekonomi yang besar mengharuskan film, radio, dan televisi memiliki khalayak yang luas atau massal. Program acara radio atau film pendekpun memerlukan biaya yang besar sehingga untuk menutup semua biaya itu diperlukan khalayak yang besar. Hal ini yang menyebabkan banyak produser acara yang memproduksi berbagai tayangan hanya untuk mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan efek-efek negatif yang ditimbulkan.
Selain bermasalahnya program-program acara televisi untuk anak dan remaja, secara umum acara-acara yang ditayangkan televisi saat ini pun banyak yang memunculkan pengaruh-pengaruh negatif. Televisi begitu menghibur dan ‘menancapkan’ pengaruhnya melalui berbagai tayangan yang tumbuh ‘subur’ tanpa arah yang jelas. Berbagai tayangan sinetron, infotainment, berita-berita kriminal begitu membingungkan pemirsanya karena tak memiliki tujuan yang jelas.
Tayangan televisi dipadati dengan sinetron-sinetron yang menyuguhkan kemudahan hidup dan gelimang kemewahan, intrik-intrik seputar cinta dan rumah tangga, perseteruan karena harta dan kekuasaan serta cerita-cerita yang kurang mendukung peran televisi sebagai media informatif edukatif. Yang semakin marak juga di televisi adalah berita-berita seputar para artis yang sama sekali tidak penting dan belum tentu kebenaran beritanya.
Selanjutnya, yang cukup memprihatinkan saat ini adalah banyaknya sinetron yang mengaku bertema relijius atau Islami, sebangsa Rahasia Illahi, Pintu Hidayah, Titik Nadir, Astaghfirullah, Hikayah, dan sejenisnya. Bila dicermati, sinetron-sinetron tersebut kadang kala malah menimbulkan salah persepsi tentang Islam, penuh umpatan dan celaan, saling pukul dan sebagainya. Cerita-ceritanya pun dibuat secara gampang dengan judul yang asal-asalan, menghasilkan tayangan dengan mutu yang rendah.
Selain itu, banyak pula sinetron dewasa maupun anak-anak yang mengedepankan cerita-cerita mistis dan takhayul. Berbagai istilah seperti pocong, setan, jin, hantu, kuntilanak dan sejenisnya rupanya memiliki nilai jual yang tinggi sehingga produser tak bosan-bosannya memproduksi tayangan dengan tema-tema tersebut. Tayangan-tayangan sejenis ini betul-betul tak jelas tujuannya: efek yang paling mungkin timbul adalah pemirsa baik dewasa maupun anak-anak menjadi semakin penakut dan tidak jelas pola pikirnya.

E. BERBAGAI MASALAH AKIBAT TELEVISI: ADAKAH JALAN KELUAR?
Berbagai masalah akibat pengaruh negatif tayangan televisi tentu saja sangat meresahkan kita semua. Jika semua ini dibiarkan terjadi terus menerus, akan menjadi apa generasi penerus bangsa ini? Siapakah yang bertanggung jawab, pemerintahkah atau kita sebagai anggota masyarakat? Dari pemerintah sendiri, sebetulnya telah dibuat berbagai tata tertib dalam bentuk Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Persoalannya, apakah undang-undang tersebut sudah dapat mengatasi persoalan yang ada dan apakah KPI sudah berfungsi dengan baik?
Di Amerika Serikat, negara liberal, berkembang teori tanggung jawab sosial yang inti pemikirannya adalah: siapa saja yang menikmati kebebasan juga memiliki tanggung jawab tertentu kepada masayarakat. Media massa di Amerika Serikat memiliki kebebasan yang dijamin konstitusi, karena itu media massa berkewajiban menjalankan fungsi-fungsi esensial tertentu. Mungkin di Indonesia berlaku teori yang kurang lebih sama, namun gaungnya belum cukup efektif mengendalikan apa yang disajikan media massa agar sesuai dengan norma-norma agama dan kemasyarakatan di Indonesia.
Sebenarnya, meskipun televisi mengandung sejumlah unsur negatif, ia juga mempunyai segi-segi positif. Televisi dapat menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak-anak kita. Untuk itu, sebagai orang tua, kita diharapkan dapat membaca dan memilih acara-acara yang sesuai untuk anak, bila tidak, lebih baik televisi dimatikan. Akan lebih baik jika acara yang ditonton anak mengandung berbagai unsur pendidikan, bukan sekedar hiburan.
Kemudian, sudah selayaknya anak-anak diajak membuat peraturan-peraturan yang masuk akal, seperti batasan waktu untuk menyaksikan televisi, tidak menonton televisi sambil makan, atau sebelum pergi sekolah. Anak-anak juga harus mematikan televisi bila acara sudah selesai. Sebaiknya, acara yang sudah selesai disaksikan didiskusikan bersama, sisi-sisi positif dan negatifnya.
Namun dari kesemua itu, yang paling penting adalah menciptakan keluarga yang harmonis, tidak melulu menyalahkan tayangan televisi sebagai pemicu tindakan kekerasan dan amoral terutama pada anak-anak dan remaja. Akan tak ada hasilnya apabila orang tua terus menerus protes terhadap tayangan televisi dan menudingnya sebagai pemicu segala permasalahan sementara mereka terus sibuk dengan pekerjaannya. Disinilah perlunya ada keseimbangan antara orang tua dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut menciptakan keluarga harmonis dengan bekal nilai-nilai ajaran agama yang kokoh, sementara pihak stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggung jawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya.

F. PENUTUP
Memang harus diakui, kita seperti tak dapat hidup tanpa televisi. Televisi dengan berbagai macam variasi acaranya bagaikan obat mujarab yang mampu membantu kita sejenak melepaskan diri dari berbagai beban hidup; membawa kita ke negeri antah berantah yang tak dapat kita sentuh dalam kehidupan nyata.
Dalam fungsinya sebagai media informatif-edukatif, televisi sering menampakkan kontroversi. Acara-acara yang ditayangkannya seringkali memberi pengaruh buruk bahkan menimbulkan dampak negatif terhadap pemikiran dan perilaku anak, remaja, bahkan orangtua. Ini disebabkan acara-acara yang ditayangkan seringkali sarat dengan unsur kekerasan dan pornografi.
Banyak hal harus dibenahi dari carut marut tayangan televisi. Berbagai langkah telah ditempuh, antara lain dengan adanya UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia. Kesemua itu tentu tak akan ada artinya tanpa dukungan masyarakat sebagai penikmat televisi. Yang terpenting adalah menciptakan kondisi keluarga yang harmonis dan teguh dengan nilai agama sehingga semua dapat lebih siap dalam meredam masalah yang muncul akibat tayangan televisi.

REFERENSI
Elizabeth L. Wahyudi, Pengaruh TV terhadap Perkembangan Jiwa Anak dalam http://buletinstudia.multiply.com., 19 Mei 2007.

Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2006.

Neil Postman, Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi (terjemahan), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung : Refika Aditama, 2002.

William L. Rivers dkk, Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakarta : Erlangga, 1997.