Suhendi
Yusti Arini
Khoirurrijal
The plurality in religion is the result of the human willing to communicate with the reality outside them which is considered to be sacred. Basically, all religions have an aim at teaching the kindness and love to all of God’s creatures. However, some problems concerning the relationship between two or more different religions are still emerging. Even, conflicts between the different communities often take place in Indonesia.
This research aims at exploring the characteristics of religious life of the Moslem community and Catholic community at Dusun Badran Rau Purwoasri Metro Utara, the role of the religious figures in deciding the pattern of the relationship between the two communities in that area, and the efforts conducted to increase the religious harmony between the two communities.
The research findings show that the two different communities, Moslem and Catholic, have a good and harmonious relationship. Such a situation is a result from several factors, among others; the people come from the same areas. The figures in this area also have good roles in increasing the harmony and creating a harmonious life.
Key Words : religion, plurality, conflict, religious figure, community, harmony
I. PENDAHULUAN
Terjadinya pluralitas agama dapat berawal dari keinginan manusia untuk berkomunikasi dengan realitas di luar dirinya yang dipandang sakral, baik medium yang digunakan maupun apa yang dipandang sebagai yang sakral itu dalam beragama. Penyebab pluralitas lainnya adalah karena agama yang diturunkan melalui proses pewahyuan (revealed religion), menempuh jalan evolutif dan diferensial yang disesuaikan dengan karakteristik, antropologis, historis, dan sosiologis manusia setempat sehingga ada peluang muncul banyak agama.
Pada dasarnya, secara normatif-doktriner, setiap agama mengajarkan kebaikan dan cinta kasih terhadap sesama makhluk Tuhan. Hal inilah yang seharusnya menjadi landasan bagi seluruh umat beragama untuk mengembangkan sikap toleransi dan saling menghargai, sehingga tetap terjaga kerukunan dan keharmonisan hidup.
Namun kenyataannya, secara sosiologis, di Indonesia seringkali terjadi berbagai konflik yang mengatasnamakan agama. Akibatnya, kerusuhan-kerusuhan terjadi di berbagai kawasan di Indonesia, dan seringkali berlarut-larut karena konflik semacam ini melibatkan isu-isu yang sangat sensitif, sehingga harus ditangani secara cermat dan hati-hati. Terlebih lagi, kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang mungkin belum memahami ajaran agama yang dianutnya secara mendalam membuat mereka mudah untuk diprovokasi.
Meskipun demikian, beberapa tahun belakangan ini telah muncul suasana yang makin baik dengan adanya keterlibatan yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak dalam memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat, khususnya menyangkut kemungkinan-kemungkinan disintegrasi bangsa akibat konflik-konflik SARA yang berkepanjangan. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah maupun institusi non-pemerintah melalui berbagai pranata, termasuk di dalamnya tokoh agama. Sejauh ini, dapat dikatakan upaya-upaya tersebut semakin mendukung terpeliharanya kerukunan dan keharmonisan hidup antar umat beragama.
Kondisi ini sedikit banyak juga terlihat dalam kehidupan penduduk di Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri Kecamatan Metro Utara. Di wilayah tersebut, meskipun didiami oleh penduduk dengan dua agama yang berbeda, Islam dan Katholik, yang tinggal saling berdekatan, namun kerukunan hidup antar umat beragama tetap terpelihara.
Salah satu permasalahan yang terkait dengan agama adalah konflik antar pemeluk agama yang berbeda, yang disebabkan oleh dangkalnya pemahaman pemeluk agama terhadap agama yang dianutnya. Jika diuraikan lagi, permasalahan konflik antar umat beragama ini menyangkut berbagai aspek yang jauh lebih kompleks daripada apa yang muncul di permukaan. Terlebih lagi konflik ini sebenarnya telah ada sejak berabad-abad yang lalu sehingga tidak mudah untuk mengatasinya, sehingga dibutuhkan peranan dari berbagai pihak, dengan berbagai perumusan kebijakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kehidupan beragama umat Muslim dan Katholik di Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri Kecamatan Metro Utara, peranan tokoh agama dalam menentukan pola kerukunan hidup beragama di lokasi tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta upaya-upaya yang dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan kerukunan hidup antar pemeluk agama yang berbeda.
II. KERANGKA TEORI
Menurut C.Y. Glock dan R. Stark, setiap agama, paling tidak, terdiri atas lima dimensi: ritual, mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial. Sementara itu, Budhy Munawar Rachman menyatakan bahwa ada tiga sikap keberagamaan: eksklusivisme, inklusivisme, dan paralelisme.
Sebagai agama, Islam mengakui adanya pluralitas. Kitab Sucinya dengan tegas mengakui hak agama lain, kecuali yang berdasarkan paganisme dan syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan. Kemudian pengakuan akan hak agama lain dengan sendirinya merupakan dasar paham kemajemukan sosial budaya dan agama sebagai ketetapan Tuhan yang tidak berubah-ubah (berdasarkan QS Al Maidah: 44 – 50).
Islam juga mengakui adanya universalisme, yakni mengajarkan kepada Tuhan dan hari akhir, menyuruh berbuat baik dan mengajak pada keselamatan. Dengan demikian, agama Islam dalam visi keagamaannya bersifat toleran, pemaaf, tidak memaksakan, dan saling menghargai, karena dalam pluralitas agama tersebut terdapat unsur kesamaan, yaitu pengabdian pada Tuhan. Inilah yang selanjutnya dapat dijadikan landasan untuk membangun konsep toleransi dalam berbagai agama.
Dalam seluruh sejarah hubungan Kristiani – Islam, apa yang telah membuat hubungan itu berkembang menjadi kesalahpahaman, bahkan menimbulkan suasana saling menjadi ancaman di antara keduanya adalah suatu kondisi adanya ‘standar ganda’ (double-standard). Maksudnya, orang-orang Kristiani maupun Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, yang biasanya standar yang bersifat ideal dan normatif untuk agama sendiri, sedangkan terhadap agama lain memakai standar lain, yang lebih bersifat realistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka teologis, yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Dapat dikatakan, pandangan tersebut merupakan penyebab konflik antar agama.
Pada penelitian ini, fokus permasalahan dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakteristik kehidupan beragama umat Islam dan Katholik di Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri Kecamatan Metro Utara?
2. Bagaimanakah peranan tokoh agama dalam menentukan pola kerukunan hidup antara umat Islam dan Kattholik di Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri Kecamatan Metro Utara?
3. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan dalam rangka memelihara dan meningkatkan kerukunan hidup antara umat Islam dan Katholik di Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri Kecamatan Metro Utara?
4. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi pola hubungan antara umat Islam dan Katholik di Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri Kecamatan Metro Utara?
III. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini berkategori studi kasus yang berkenaan dengan fenomena sosial keagamaan di lingkungan manusia yang heterogen (fenomenologis) dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berdasarkan paradigma alamiah (naturalistic paradigm). Peneliti berusaha masuk ke dalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga dapat mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri Kecamatan Metro Utara, dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki dua komunitas penduduk, Islam dan Katholik, yang tinggal saling berdekatan di lokasi tersebut tetapi kerukunan hidup antara dua pemeluk agama tersebut relatif tetap terpelihara. Dengan demikian, subjek dalam penelitian ini adalah sejumlah penduduk wilayah tersebut, termasuk di dalamnya tokoh agama dan aparatur pemerintah.
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui berbagai teknik: observasi atau pengamatan, dokumentasi, wawancara mendalam, dan catatan lapangan. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan yang diperoleh dari masyarakat, tokoh agama, dan aparat pemerintah. Sementara itu, sumber data tertulis, foto, dan data statistik dijadikan sebagai data pendukung dalam penelitian ini.
Setelah terkumpul, data dianalisis melalui teknik deskriptif – kualitatif yang meliputi berbagai tahap, yaitu pemrosesan satuan (unityzing) menjadi tipologi satuan dan dilanjutkan dengan penyusunan satuan, kategorisasi data, pemeriksaan keabsahan data dengan teknik triangulasi dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi, serta interpretasi atau penafsiran untuk memperoleh kesimpulan.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Setting Wilayah Penelitian
1. Kondisi Geografis Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri
Nama dusun ini, menurut sejarahnya, diambil dari nama sebuah daerah yang menjadi asal sebagian besar transmigran yang menempati dusun ini, yaitu ‘Badran’, sebuah wilayah di Yogyakarta. Kata ‘badran’, menurut salah seorang subjek penelitian, berasal dari kata ‘kebodro’, yang berarti mengawali untuk bermasyarakat atau mulai hidup bersama-sama dari sekelompok masyarakat yang ingin menempati suatu daerah.
Nama ini kemudian menjadi nama sebutan informal dan dikenal luas oleh daerah lain di Kota Metro, yang diinformasikan penduduk Badran secara turun temurun dari generasi ke generasi sampai sekarang ini. Adapun kata ‘Rau’ ditambahkan karena di dusun tersebut, pada masa itu, terdapat sebuah pohon besar yang dikenal sebagai pohon ‘Rau’.
Jika kita hendak berkunjung ke dusun ini, kita bisa menggunakan jasa angkutan desa (mikrolet) yang melintasi dusun Badran, yaitu mikrolet terminal kota jurusan Metro-Sri Sawahan (Lampung Tengah). Dari pusat kota jaraknya memang tidak terlalu jauh; kurang lebih 10 km, namun karena kondisi jalan desa yang menuju dusun ini rusak cukup parah, diperlukan waktu kurang lebih 15-20 menit untuk sampai ke dusun ini.
Jalan-jalan dusun umumnya sudah berupa batu kasar (onderlagh), hanya sebagian kecil yang masih berupa jalan tanah sehingga cukup menopang kebutuhan transportasi bagi distribusi hasil –hasil pertanian ke kota dan lalu-lintas ekonomi lainnya.
Letak dusun ini berada di sebelah utara Kota Metro, persis di ujung batas kota, yang berbatasan langsung dengan 2 (dua) kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Timur (Kec. Pekalongan) dan Kabupaten Lampung Tengah (Kec. Punggur-Sri Sawahan).
Dusun yang berada di kawasan Bendungan Raman (Dam Raman) ini secara administratif memang masuk dalam wilayah kota, yaitu masuk pada Lingkungan IV Kelurahan Purwoasri, namun jika dilihat dari kehidupan sosial dan mata pencaharian utamanya, terasa kental sekali suasana pedesaannya.
Suara ‘embik’ kambing dengan para gembalanya, kicau burung, dan udara yang masih segar memberikan suasana yang berbeda dan kontras dengan daerah lainnya di Metro yang memiliki status kota. Kemudian hamparan sawah yang hijau, pohon-pohon yang masih rindang, serta kebun-kebun dengan aneka tanaman yang ranum, menjadi pemandangan yang menyejukkan jika kita berkunjung ke dusun ini.
Belum lagi jika kita sempatkan berjalan ke areal ‘bengkok’ yang berada di sisi belakang dusun; terlihat hamparan ‘danau indah’ dengan sampan-sampan kecil, yang tidak lain adalah Bendungan Raman; kawasan kebanggaan dusun ini, dan merupakan salah satu objek wisata andalan di Kota Metro.
Selanjutnya, yang tidak kalah menarik adalah pola pemukiman penduduk yang tertata dan pola persawahan yang rapih merupakan salah satu ciri dusun ini. Dahulu memang merupakan daerah tujuan transmigrasi, pertama kalinya dibuka pada tahun 1935, namun karena adanya serangan gajah yang memporak-porandakan perkampungan dan perkebunan warga, dusun ini ditinggal oleh penduduknya yang pindah ke daerah-daerah sekitar yang lebih aman dari serangan gajah dan binatang buas lainnya.
Baru kemudian pada tahun 1953 dusun ini mulai ramai ditempati oleh transmigran yang berasal dari daerah-daerah di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti Badran, Wonosari, Gunung Kidul, Sleman dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di sini berkembang tradisi dan budaya Jawa yang sangat kental, baik dalam struktur sosial maupun dalam bidang lainnya.
2. Kondisi Demografis Dusun Badran Rau Kelurahan Purwoasri
Tidak diperoleh data secara rinci untuk Dusun Badran Rau, data yang diperoleh merupakan data monografi Kelurahan Purwoasri. Jumlah KK di kelurahan tersebut sebanyak 799 KK, dengan jumlah seluruhnya sebanyak 3.601 jiwa, 1748 orang laki-laki dan 1.853 orang perempuan. Sementara itu, jumlah penduduk yang beragama Islam adalah 3.450 orang dan beragama Katholik sebanyak 150-an orang. Dari jumlah umat Katholik tersebut, hampir seluruhnya mendiami wilayah Dusun Badran Rau, sehingga di dusun tersebut proporsi jumlah umat Islam dan Katholik hampir berimbang.
Sebagian besar penduduk Kelurahan Purwoasri bermatapencaharian sebagai petani, yaitu sebanyak 510 orang, selebihnya bermatapencaharian sebagai buruh, PNS, tukang, karyawan, TNI/Polri, sektor jasa, wiraswasta/pedagang, industri kecil/rumah tangga dan pensiunan. Sementara itu, tingkat pendidikan sebagian besar penduduk adalah lulusan SLTA.
Suku Jawa merupakan jumlah penduduk terbanyak yang mendiami Kelurahan Purwoasri, yaitu sejumlah 3.499 orang, selebihnya adalah suku Lampung, Sunda, Palembang, dan Tapanuli. Kelurahan tersebut terbagi menjadi 4 Lingkungan, 8 RW, dan 30 RT.
3. Sarana dan Prasarana Ibadah
Sarana dan prasarana ibadah di Kelurahan Purwoasri meliputi 3 buah masjid, 4 buah mushola, dan 1 kapel. Satu-satunya kapel di kelurahan tersebut terletak di Dusun Badran Rau yang memiliki jumlah umat Katholik terbesar di Kelurahan Purwoasri. Dilihat dari besarnya bangunan, sebetulnya kapel yang bernama Santo Cornelius ini sudah layak disebut gereja. Namun karena belum memenuhi kriteria-kriteria administratif gereja maka bangunan tersebut masih disebut kapel dan belum dapat disebut sebagai gereja.
Sementara itu, terdapat beberapa kelompok keagamaan di Kelurahan Purwoasri. Kelompok keagamaan tersebut meliputi satu Majelis Ta’lim dengan 28 anggota, satu Majelis Gereja beranggotakan 70 orang, empat kelompok remaja masjid dengan anggota 100 orang, dan satu kelompok Remaja Gereja dengan anggota 30 orang.
B. Suasana Kehidupan Beragama di Dusun Badran Rau dalam Realitas
Kira-kira 150 meter dari Masjid Nurul Huda yang berada di jalan utama desa, berdiri sebuah kapel, yakni Kapel Santo Cornelius dengan bangunan yang besar dan cukup megah, lokasinya agak masuk ke jalan kedua. Terlihat sekali masjid dan kapel berjarak sangat dekat. Dekatnya jarak masjid sebagai tempat ibadah umat Islam dan kapel sebagai tempat ibadah umat Katholik, menjadi salah satu simbol paling nyata dan cermin kehidupan beragama yang sangat rukun di dusun Badran Rau.
Dusun Badran Rau jika dilihat dari jumlah komunitas yang beragama Katholik merupakan daerah basis pembinaan agama Katholik yang dikontrol langsung oleh Parokial Gereja Katholik Hati Kudus Yesus di Kota Metro. Jumlah umat Katholik sendiri di dusun Badran Rau kurang lebih sebanyak 38 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 150 – an jiwa.
Dilihat dari struktur Gereja, Kapel Santo Cornelius Badran merupakan pusat kegiatan (centrum) dari beberapa kring (semacam kelompok ibadat/do’a) yang dipimpin oleh seorang Ketua Stasi. Kring yang masuk dalam koordinasi dan peribadatan di Kapel Santo Cornelius Badran adalah: Kring Badran, Kring Wonosari, Kring 28 B Purwosari, dan Kring 29 Grenjeng.
Umat Katholik di dusun Badran jika ditinjau dari sejarahnya, pada awalnya hampir seluruhnya merupakan transmigran asal Badran, dan daerah lainnya di Yogyakarta; seperti Gunung Kidul, Sleman dan daerah Jawa Tengah lainnya yang sebelumnya beragama Islam; hanya ada satu atau dua Kepala Keluarga (KK) waktu itu yang beragama Katholik.
Awal masuknya agama Katholik ke wilayah ini adalah pada sekitar tahun 1960-an. Pada tahun tersebut, wilayah ini dilanda masa paceklik berkepanjangan sehingga hampir seluruh masyarakat mengalami kesulitan, terutama dalam hal pangan. Didera kesulitan pangan, kedatangan sejumlah misionaris Katholik ke wilayah ini membawa harapan tersendiri bagi masyarakat. Pasalnya, kedatangan sejumlah misionaris tersebut membawa bahan pangan yang dikenal dengan nama ‘bulgur’, sejenis biji-bijian yang dapat dijadikan bahan pangan.
Para misionaris tersebut menjanjikan bulgur gratis bagi masyarakat yang bersedia mengikuti kajian keagamaan Katholik, sementara yang tidak bersedia mengikuti kajian tersebut dapat memperoleh bulgur dengan cara membayar setengahnya. Masa ini oleh sejumlah subjek disebut sebagai masa ‘bulgurisasi’.
Sebenarnya, pada masa itu beberapa orang yang peduli terhadap upaya pendalaman agama Islam bagi penduduk tetap giat melaksanakan kajian keIslaman, salah satu di antaranya adalah Mbah Muhammad Dayat. Karena mungkin belum mengenal metode modern dalam penyampaian ajaran Islam, metode yang digunakan masih metode tradisional, yaitu metode pesantren tradisional di mana mengaji Al Qur’an harus dilakukan secara fasih dan benar. Hal ini cukup dirasakan sulit bagi masyarakat awam waktu itu.
Sementara itu, para pastur Katholik yang datang ke dusun ini menyampaikan ajaran Katholik dalam bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat, yaitu bahasa Jawa, sehingga lebih mudah dipahami. Pada awalnya, ada sekitar 28 orang yang mengikuti kajian agama Katholik tersebut. Lebih mudahnya ajaran agama tersebut untuk dipahami ditambah dengan adanya pemberian bulgur gratis, penyampaian ajaran agama baru di dusun tersebut semakin berjalan efektif sehingga banyak masyarakat yang berpindah ke agama Katholik dan dilakukan pembaptisan masal pada waktu itu.
Keadaan tersebut terus berlangsung sehingga jumlah umat Katholik semakin bertambah dengan lahirnya generasi-generasi baru. Hal ini akhirnya membuat proporsi jumlah umat Islam dan Katholik di dusun ini berimbang.
Ada fenomena menarik dari situasi ini. Yang pertama adalah seluruh masyarakat, baik yang beragama Islam maupun Katholik, masih dalam ikatan kekerabatan. Selanjutnya, para generasi terdahulu yang semula beragama Islam dan berpindah ke Katholik masih tetap ingat cara membaca Al Qur’an sehingga apabila mengikuti acara tahlilan atau sholawatan, secara lamat-lamat mereka masih dapat ikut melantunkan bacaan sholawatan tersebut.
Secara umum, jika dilihat dari perspektif pengamalan ajaran agamanya, umat Islam di dusun Badran Rau dapat dikatakan terdiri dari dua mainstream atau aliran besar pada komunitas umat Islam, yaitu Muhammadiyah dan NU. Kedua mainstream ini, walaupun terkadang memiliki persepsi yang agak berbeda terhadap beberapa aturan dalam agama Islam, tidak menjadikan perbedaan pemahaman atau persepsi tersebut mengerucut menjadi sebuah konflik internal yang muncul di permukaan.
Masjid Nurul Huda yang terletak kurang lebih 150 meter dari Kapel Santo Cornelius dapat dikatakan merupakan representasi komunitas umat Islam dari mainstream Muhammadiyah. Sementara Masjid Al Hidayah yang berjarak kurang lebih 300 meter dari kapel merupakan representasi komunitas dengan mainstream Nahdlatul Ulama (NU).
Saat ini, tingkat pelaksanaan ajaran agama, baik Islam maupun Katholik, oleh masyarakat sudah cukup memadai. Mereka cukup taat melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Rumah-rumah ibadah pun dapat berfungsi dengan baik. Masjid dan mushola yang ada hampir selalu dipakai untuk sholat lima waktu, sholat Jum’at, maupun sholat Ied. Sementara itu, satu-satunya kapel di dusun ini selalu dipenuhi oleh jemaat Katholik pada setiap Sabtu sore, hari yang menjadi jadwal kebaktian umat Katholik di dusun ini. Perayaan-perayaan keagamaan umat Katholik pun, seperti Natal atau Paskah, dipusatkan di kapel ini.
Keadaan ini menjadikan kehidupan di dusun Badran Rau berjalan dengan cukup aman dan tenang karena penduduk pun berupaya memanifestasikan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga jarang terjadi tindak kriminal, semisal pencurian atau pelanggaran terhadap norma-norma aturan yang ada.
C. Tokoh Agama di Dusun Badran Rau dalam Perspektif
Tokoh agama memainkan peran yang sangat strategis agar kegiatan penyiaran agama, dalam hal ini Islam dan Katholik, tidak saling berhadapan, apalagi saling meniadakan dalam bentuk konflik antar agama. Dibutuhkan kearifan dari berbagai tokoh masyarakat terutama pemuka agama baik Islam maupun Katholik untuk menghimbau dan mengajak umatnya agar tetap dalam satu ikatan persaudaraan yang kukuh.
Di lingkungan Katholik dusun Badran Rau, tokoh agama di samping dipegang oleh Romo atau Pastur yang merupakan representasi gereja, juga dimainkan oleh pemimpin agama informal seperti ketua stasi, ketua kring, atau individu tertentu yang tidak memiliki jabatan apapun di komunitasnya, tapi cukup memiliki pengaruh bagi komunitasnya.
Sementara di kalangan umat Islam dusun tersebut, orang yang dianggap tokoh agama umumnya adalah individu-individu yang di samping karena pengaruhnya, juga dikarenakan penguasaan ilmu agama yang lebih baik, seperti ustadz, kyai, kaum. Sementara itu, ada pula tokoh agama yang dikarenakan jabatannya seperti pengurus masjid atau pengurus organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Sejauh ini hubungan tokoh agama dengan umatnya, ataupun tokoh agama Islam dengan Katholik berjalan sangat harmonis. Melalui forum-forum informal seperti kendurian, kegiatan gotong royong dusun, kegiatan desa, dan kegiatan lainnya, dialog antar tokoh kedua agama berjalan dengan baik. Komunikasi dan hubungan saling pengertian berjalan cukup baik karena umumnya para tokoh agama tersebut aktif berkiprah dalam berbagai kegiatan masyarakat.
D. Relasi Islam – Katholik di Dusun Badran Rau: Potret Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
Mengamati fenomena kerukunan beragama di dusun Badran memang sangat menarik, apalagi hal ini terkait dengan pola hubungan sosial antar kedua komunitas yang berbeda. Pola hubungan antar dua komunitas ini dapat merupakan refleksi atas interpretasi nilai-nilai ajaran kedua agama yang berbeda tersebut, dan menjadi sebuah relasi harmoni sosial yang toleran, egaliter, non diskriminatif, inklusif.
Agama secara normatif-doktriner selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih dan kerukunan. Tetapi kenyataan sosiologis sering menampakkan wajah sebaliknya. Di banyak tempat seperti Ambon, Poso, dan beberapa wilayah lain, kekerasan dan kebiadaban justru seringkali terjadi atas nama agama.
Akan tetapi di dusun Badran Rau berbeda, kerukunan disini menjadi hal penting yang senantiasa dijaga dan dibina oleh penduduknya. Agama justru telah menampakkan wajahnya yang ramah, penuh cinta kasih, harmonis, toleran, dan inklusif.
Secara historis, sejak awal dibukanya dusun ini, memang belum pernah ditemukan adanya konflik antar umat beragama atau yang bernuansa SARA lainnya. Masyarakat dusun Badran Rau dari dahulu telah hidup rukun dan harmonis berdampingan dan membaur antara komunitas Islam dan Katholik.
Tidak dapat dipungkiri memang, jika kemudian kerukunan di dusun Badran Rau tampil dengan wajah yang cukup liberal, kadang-kadang malah menembus batas ‘pakem-pakem’ agama, baik itu diukur dari perspektif Islam, ataupun dalam perspektif Katholik.
Sebuah contoh nyata untuk mendeskripsikan wajah kerukunan di dusun ini adalah sebagaimana tampak pada acara kendurian pada salah satu penganut agama Katholik. Biasanya, seluruh tetangga dalam radius lingkar 40-50 KK pada saat acara kendurian diundang, baik untuk maksud syukuran, kematian, ‘bayen’, atau untuk maksud lainnya.
Karena yang hadir dalam acara kendurian tersebut terdiri dari 2 (dua) penganut agama, Islam dan Katholik, maka biasanya selepas maghrib diadakan do’a secara Islam, biasanya berupa ‘yasinan’, dan dipimpin oleh pemuka agama Islam, kemudian setelah itu pada sesi kedua diadakan acara do’a secara Katholik, dikenal dengan ‘sembahyangan’, yang dipimpin oleh pemuka agama Katholik.
Dalam urusan perayaan hari raya kedua agama pun, muncul sikap toleransi yang demikian tinggi. Ketika umat Islam merayakan Idul Fitri, misalnya, hampir seluruh umat Katholik pun ikut memeriahkannya dengan cara mengunjungi umat Islam yang sedang merayakannya. Sebaliknya, ketika umat Katholik merayakan Natal, sebagian besar umat Islam juga ikut bergembira dengan mengunjungi mereka yang sedang merayakan Natal. Bahkan ketika umat Islam ini diundang mengikuti acara Natalan di kapel, banyak di antaranya yang memenuhi undangan tersebut walaupun tidak untuk mengikuti acara misa atau kebaktiannya, karena ada acara khusus yang tidak terlalu bernuansa keagamaan bagi umat Islam ini.
Dalam urusan hubungan antar manusia yang bersifat lebih personal, perkawinan misalnya, tak jarang terjadi seorang pemuda Katholik menikah dengan gadis Islam, atau sebaliknya. Tak jarang pula peristiwa tersebut membawa salah satu pihak berpindah agama, mengikuti agama suami atau istrinya. Dan ini nampaknya sudah menjadi hal yang lumrah, sehingga tidak terlalu dipermasalahkan oleh keluarga kedua belah pihak yang menikah.
Pola relasi antara komunitas Islam dan komunitas Katholik di dusun Badran Rau memiliki cukup banyak varian-pada hampir seluruh bidang, hal ini banyak dilandasi oleh semangat doktrin: lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) dan semangat mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin bagi komunitas Islam, dan ajaran untuk hidup bermasyarakat, menebar cinta kasih dengan sesama, walaupun berbeda agama, bagi komunitas Katholik.
Dalam hal yang terkait dengan masalah agama (aspek ketuhanan), penduduk dusun Badran Rau telah memiliki sikap bahwa untuk urusan agama, merupakan urusan agama masing-masing yang tidak ada kompromi pada wilayah ini, dengan mengembangkan pola hubungan yang saling menghormati antar keyakinan agama masing-masing, karena agama apapun dalam pandangan penduduk dusun ini pasti mengajarkan kebaikan, melarang kejahatan, menebar cinta kasih, dan kerukunan.
Pemahaman ini bukan berarti menafikan kebenaran mutlak yang terdapat dalam agama yang diyakininya. Kebaikan universal yang terdapat dalam agama-agama tidak lebih sebagai cara untuk mengembangkan sikap mutual understanding terhadap agama lain. Sehingga, hal tersebut dapat menciptakan hubungan yang harmonis sebagai landasan hidup berdampingan antar dua komunitas agama yang berbeda.
Sikap ini tercermin oleh sebuah kenyataan bahwa kedua komunitas agama, baik Islam maupun Katholik, selama ini dapat menjalankan keyakinannya dengan tenang dan aman, tanpa ada saling ganggu dan saling usik. Semua berjalan lancar, baik dalam melaksanakan peribadatan seperti sholat di masjid, kebaktian-doa di kapel maupun dalam pelaksanaan hari raya Idul Fitri, Natal, dan lain sebagainya.
Sementara untuk urusan kemasyarakatan (aspek kemanusiaan), mereka telah mengembangkan pola hubungan untuk saling berkerja sama tanpa membeda-bedakan agama. Dalam lapangan ekonomi telah terjalin hubungan yang baik dan saling menguntungkan, misalnya dalam pengerjaan sawah-perladangan, pembangunan rumah, kelompok tani, dan kelompok usaha home industri dan kegiatan bisnis lainnya. Merupakan hal biasa ketika seorang Muslim memiliki sebidang sawah dan kemudian yang menggarap beragama Katholik. Atau, seorang yang beragama Katholik ingin mendirikan rumah dan menggunakan jasa tukang yang beragama Islam.
Pada lapangan sosial budayapun demikian, penduduk dusun Badran Rau telah terjalin dalam hubungan sosial kemasyarakatan yang ‘guyub’, saling membantu dan saling mengapresiasi pada aneka bentuk kegiatan sosial. Seperti adanya kelompok kesenian gamelan Jawa dengan anggota yang berasal dari penganut Islam dan Katholik. Bentuk kegiatan sosial yang lainnya juga berjalan dengan baik, seperti gotong royong kebersihan dusun, saling mengunjungi jika terdapat tetangga yang sakit atau meninggal dunia tanpa memperdulikan agama orang yang sakit atau meninggal dunia tersebut.
Menarik untuk dikemukakan disini, bahwa karena teramat rukunnya hubugan antar kedua agama di dusun ini, pada saat dilakukan rehab pembangunan Kapel Santo Cornelius, Masjid Nurul Huda, maupun Masjid Al Hidayah, dikerjakan secara gotong-royong antar kedua komunitas agama yang berbeda, bahkan tidak saja bantuan berupa tenaga, tetapi juga bantuan yang berupa material.
Dari beberapa fakta di atas diketahui bahwa adanya pluralitas agama di wilayah penelitian ini tidak mempengaruhi relasi interaksi sosial, bahkan ajaran agama telah dijadikan sebagai spirit dalam pengembangan pola hubungan sosial yang harmonis dan guyub antar dua komunitas agama yang berbeda.
V. SIMPULAN
Dari paparan hasil penelitian dan pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kehidupan beragama di dusun Badran Rau kelurahan Purwoasri berjalan sangat harmonis dan rukun. Saat ini, tingkat pelaksanaan ajaran agama, baik Islam maupun Katholik, oleh masyarakat sudah cukup memadai. Mereka cukup taat melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Rumah-rumah ibadah pun, baik masjid, mushola, atau pun kapel, dapat berfungsi dengan baik.
Keadaan ini menjadikan kehidupan di dusun Badran Rau berjalan dengan cukup aman dan tenang karena penduduk pun berupaya memanifestasikan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga jarang terjadi tindak kriminal, semisal pencurian atau pelanggaran terhadap norma-norma aturan yang ada.
Beberapa faktor yang mendorong dan menjadi landasan terciptanya kerukunan hidup antar umat beragama di dusun tempat penelitian ini antara lain:
1. Penduduk dusun Badran berasal dari daerah asal yang sama, yaitu daerah Badran, sebuah wilayah di Yogyakarta, dan wilayah-wilayah lain di Yogyakarta., seperti Gunung Kidul, Sleman, maupun beberapa daerah lain di Jawa Tengah, sehingga terbentuk rasa persamaan nasib sepenanggungan sesama perantau di Sumatera.
2. Adanya rasa kepemilikan budaya yang sama (sense of common culture), masyarakat dusun Badran umumnya berasal dari etnis Jawa yang memiliki kultur petani, yang dikenal memiliki budaya gotong royong dan rasa ‘tepo seliro’ atau tenggang rasa yang tinggi terhadap orang lain.
3. Adanya hubungan kekerabatan antar penduduk di lokasi penelitian ini, karena jika di runut-runut maka penduduk di dusun Badran Rau ini masih sangat dekat hubungan kekerabatannya, baik hubungan keluarga yang terjadi semenjak dari daerah asal, kemudian akibat terjadinya perpindahan agama, maupun akibat perkawinan lintas agama setelah mereka menetap di dusun tersebut.
4. Terbangunnya sebuah kesadaran akan adanya pluralitas agama pada masyarakat di lokasi penelitian ini, yaitu sebuah kesadaran untuk saling menghormati dan menghargai keyakinan dan kepercayaan orang lain yang berbeda dengan keyakinannya.
5. Terjalin hubungan komunikasi yang harmonis dan efektif antar tokoh agama, melalui kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti kegiatan gotong royong, kendurian, pesta pernikahan, pertemuan rukun tetangga, kegiatan-kegiatan kelurahan, dan didukung oleh sebuah kenyataan bahwa para tokoh kedua komunitas agama ini sangat aktif berperan dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
6. Pemimpin formal di masyarakat seperti Lurah, dan perangkat kelurahan lainnya telah memerankan fungsinya sebagai pengayom masyarakat dengan sangat baik.
7. Kondisi sosial ekonomi masyarakat tempat penelitian ini dapat dikatakan cukup baik, meskipun tidak tergolong tinggi. Kondisi ini berperan menciptakan suasana yang kondusif, kerawanan sosial seperti tindak kriminalitas, sehingga secara tidak langsung telah meminimalisir gesekan sosial yang dipicu oleh masalah kriminal biasa – yang kemudian dikhawatirkan membias menjadi persoalan pertentangan agama yang sangat rawan dan sewaktu-waktu dapat pecah.
DAFTAR PUSTAKA
Khaeroni, Islam dan Hegemoni Sosial, Jakarta: Mediacita, 2002.
Maarif, Ahmad Syafii, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1989.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Rachman, Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001.
Rahmat, Jalaluddin, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar