Kamis, 06 Agustus 2009

TELEVISI DALAM KONTROVERSI Mencermati Tayangan Televisi dari Berbagai Sisi

 Yusti Arini


Mass media, especially television, grows and develops into a form of audio visual media with specific characteristic. Nowadays, television, with its various programs, is becoming a source of information. By watching television, we are able to know the events taking place in the other parts of the world. It also displays life pictures that can give us ‘taste’ for our senses.
However, television can also become a media with ‘poisonous’ programs. In such a competitive situation, many TV stations try to present various entertaining programs. Most of which tend to give bad effects to their audience, especially teenagers and children. Sometimes, the programs can inspire them to be aggressive and impulsive, doing the violence.
As the member of the society, we, together with the government, must be responsible to solve the problems. Several efforts must be conducted, among others, making some policies concerning the TV programs. The parent must also control what their children watch and guide them with the religious values.




A. PENDAHULUAN
Media massa, khususnya televisi, tumbuh dan berkembang menjadi salah satu bentuk media audio visual dengan ciri dan sifat yang khas. Televisi dalam menyampaikan pesannya bersifat audio visual, dapat dilihat dan didengar, penyampaian pesan juga bisa secara langsung ke rumah-rumah pemirsanya. Televisi, si kotak ajaib ini, diakui atau tidak, telah mengambil sebagian besar waktu kita. Keberadaannya bukan lagi menjadi kebutuhan sekunder, tetapi dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer. Ia telah menjadi teman bagi keluarga kita; menjadi sumber informasi dan hiburan.
Memang, televisi bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi ia merupakan sumber informasi, ilmu pengetahuan, yang menyajikan gambar hidup, sehingga lebih dapat memberikan ‘rasa’ pada panca indera kita. Di sisi lain ia adalah media yang dapat ‘meracuni’ pemirsanya dengan berbagai program tayangannya. Kita dapat melihat bagaimana gelombang tsunami yang dahsyat meluluhlantakkan Aceh, hancurnya sebagian wilayah Yogya akibat gempa bumi, tanah longsor dan banjir di berbagai wilayah Indonesia bahkan dunia, kedahsyatan perang di belahan dunia lain nun jauh di sana; kesemua itu tak dapat diberikan oleh media lain seperti radio atau koran.
Berita dalam televisi tidak lagi berupa sekumpulan pesan dalam sistem piramida (terbalik atau tidak). Berita telah menjadi drama kemanusiaan. Kathleen Hall Jamicson menyebut kekuatan televisi ini “dramatisasi dan sensasionalisasi isi pesan”. Apa yang dapat dilakukan televisi - dengan kekuatan luar biasa - adalah memobilisasikan emosi pemirsa di sekitar gambaran dunia politik yang hidup, disederhanakan, dan bersifat melodramatik, di mana pujaan dan kutukan menjadi kutub-kutub magnetisnya.
Secara lebih ekstrim, Gerbner, seorang pakar komunikasi dan peneliti televisi di AS, menyebut televisi sebagai agama masyarakat industri. Televisi telah menggeser agama-agama konvensional. Khutbahnya didengar dan disaksikan oleh jamaah yang jumlahnya lebih besar dari agama manapun. Rumah ibadatnya tersebar di seluruh pelosok bumi; ritus-ritusnya diikuti dengan penuh kekhidmatan, dan boleh jadi lebih banyak menggetarkan hati dan mempengaruhi bawah sadar manusia daripada ibadat agama-agama yang pernah ada.

B. TAYANGAN TELEVISI DAN EKSPLOITASI REMAJA
Perkembangan teknologi televisi yang sempat terhenti akibat Perang Dunia II tumbuh pesat pada akhir 1940an. Karena sifatnya yang menarik mata, sebagian besar siaran televisi adalah non berita, bisa dalam bentuk film, sinetron, kuis, talkshow, ataupun acara-acara hiburan lainnya.
Media televisi dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu yang bersamaan (broadcast). Penyampaian pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Pesan yang dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya ataupun menimbulkan kesan lain.
Hadirnya beberapa stasiun televisi di Indonesia patut dirayakan sebagai sebuah prestasi. Apalagi jika mengingat kontribusi yang telah mereka berikan dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Booming televisi swasta diakui telah mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat melalui sajian informasi yang disampaikan secara tajam, objektif, dan akurat.
Pendeknya, publik telah berhutang jasa kepada media televisi yang telah membantu masyarakat dalam memahami berbagai persoalan aktual di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Media televisi juga telah memperluas dan memperkaya wawasan publik dengan sajian acara dialog, debat, talk show, diskusi, dan berbagai acara informatif-edukatif lain.
Kehadiran stasiun baru dalam pertelevisian nasional mau tidak mau semakin mempertajam tingkat persaingan dalam bisnis di bidang ini. Sebagai konsekuensinya, para awak televisi harus memilih strategi tepat dalam menggaet segmen pemirsa. Upaya merebut hati pemirsa ini dilakukan sebagai bagian dari upaya meningkatkan rating sekaligus menaikkan iklan yang masuk.
Dalam iklim kompetisi tersebut, ternyata beberapa stasiun televisi memilih jalan pintas antara lain dengan mengeksploitasi dunia anak-anak dan remaja secara berlebihan. Eksploitasi ini diindikasikan dalam empat hal. Pertama, judul-judul sinetron remaja yang disajikan seringkali bertemakan vulgarisme, menantang, dan mengandung unsur pornografi. Kedua, pemain sinetron yang dipilih rata-rata berasal dari kalangan remaja belia atau bahkan sebagian masih berusia anak-anak.
Ketiga, jenis-jenis peran yang dimainkan oleh para artis remaja seringkali bertabrakan dengan norma pergaulan masyarakat dan belum sesuai dengan tingkat perkembangan psikologisnya. Para artis tersebut seringkali dipaksa memainkan adegan percintaan seperti berciuman, berpelukan, atau bergendongan sesuai dengan tuntutan skenario cerita.
Keempat, banyaknya alur cerita sinetron remaja yang mengambil setting anak-anak sekolah lengkap dengan seragam sekolah, lokasi sekolah, dan aneka pergaulan di dalam maupun luar kelas. Padahal jika dicermati, beberapa adegan sinetron yang bersetting sekolahan ini tidak sesuai dengan norma agama dan adat ketimuran yang berlaku.

C. TELEVISI: MERINDUKAN TAYANGAN EDUKATIF BAGI ANAK
Media televisi saat ini telah menjadi sahabat yang menemani anak-anak. Dalam keluarga modern yang para orang tuanya sibuk beraktifitas di luar rumah, televisi berperan sebagai penghibur, pendamping, bahkan “pengasuh” bagi anak-anak mereka. Banyaknya pilihan acara yang disuguhkan oleh berbagai stasiun televisi membuat anak semakin senang nongkrong di depan televisi. Pihak stasiun televisi pun berlomba-lomba menyajikan acara-acara yang memang khusus untuk konsumsi anak-anak, semisal sinetron anak-anak ataupun film-film kartun.
Kondisi ini tak pelak lagi dapat mempengaruhi perkembangan jiwa dan pikiran anak-anak. Mengapa demikian? Seperti telah diuraikan di muka, dibandingkan dengan media massa lain, seperti radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya, televisi memiliki sifat yang istimewa karena dapat menggabungkan antara unsur suara dan gambar sehingga dapat lebih dinikmati. Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk menyampaikan pesan.
Rivers menyebutkan, media bukan saja menjadi pembujuk kuat, namun media juga bisa membelokkan pola perilaku atau sikap-sikap yang ada terhadap suatu hal. sementara itu, Gerungan mengatakan bahwa pembentukan attitude tidak terjadi dengan sendirinya atau sembarangan saja. Pembentukannya senantiasa berlangsung dalam interaksi manusia, dan berkenaan dengan objek tertentu. Interaksi sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompok dapat mengubah attitude atau membentuk attitude yang baru. Yang dimaksud dengan interaksi di luar kelompok adalah interaksi dengan hasil buah kebudayaan manusia yang sampai kepadanya melalui alat-alat komunikasi seperti surat kabar, radio, tv, buku, risalah, dan lain-lain.
Tudingan terhadap media massa terutama televisi sebagai biang keladi tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Di sekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja menonton film cowboy di layar televisi, kemudian berlari ke halaman rumah, berguling-guling dan berteriak “dor dor..” sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang dapat diraihnya.
Sering pula kita mendengar ucapan-ucapan yang kurang pas bahkan cenderung kasar dan tidak etis mereka lontarkan meniru idolanya di televisi. Begitu pula bagaimana anak-anak meniru berbagai adegan sadis, sensual, dan erotik yang setiap saat dapat disaksikan di layar televisi. Tokoh-tokoh film anak seperti Dora Emon, Satria Baja Hitam, Power Rangers, Sinchan, Pokemon, dan yang lainnya begitu lekat dalam keseharian mereka. Padahal bila dicermati, sebagian sinetron atau film kartun, di mana terdapat tokoh-tokoh yang menjadi idola anak-anak, seringkali menyajikan adegan-adegan yang sarat dengan unsur kekerasan atau khayal yang membohongi mereka, bahkan pornografi.
Fakta baru yang cukup menggemparkan adalah jatuhnya beberapa korban yang bahkan hingga terenggut nyawanya akibat ulah teman-temannya sendiri. Penganiayaan dan pengeroyokan oleh anak-anak yang sering terjadi akhir-akhir dituding merupakan dampak dari tayangan acara Smack Down. Acara tersebut sejatinya merupakan konsumsi orang dewasa dan ditayangkan menjelang tengah malam. Namun kurangnya pengawasan orang tua menyebabkan banyaknya anak-anak yang ‘lolos’ dan ‘berhasil’ menonton tayangan ini.
Ditinjau dari ajaran Islam pun, banyak acara khusus anak mengandung unsur syirik dan takhayul. Film-film kartun semacam Dora Emon dan Pokemon atau sinetron-sinetron anak seperti Bidadari, Jin dan Jun, ternyata jelas-jelas mengajarkan bahwa makhluk dalam bentuk peri atau jin, atau tokoh-tokoh tertentu dapat memiliki kekuatan yang dapat mengatur hidup manusia. Dalam film Pokemon sering diucapkan “Bawalah Pokemonmu dalam saku dan kau siap untuk apa saja. Kau punya kekuatan dalam genggamanmu, gunakanlah!”.
Memang tak dipungkiri ada pula beberapa program acara televisi untuk anak yang bersifat informatif edukatif; menghibur dan mendidik anak serta memperkaya wawasan mereka, semisal Surat Sahabat, Laptop Si Unyil, dan Petualangan Si Bolang. Namun porsinya kurang berimbang dengan tayangan-tayangan yang kurang bersifat mendidik, atau bahkan yang bermutu rendah.
Anak-anak yang terlalu banyak menyaksikan televisi tanpa kontrol dapat dipastikan akan menjadi anak-anak agresif dan rawan dengan berbagai tindak kekerasan bahkan amoral. Mereka juga dapat menjadi anak-anak yang anti sosial dan kurang peka terhadap orang sekitar dan lingkungannya.

D. CARUT MARUT TAYANGAN TELEVISI DALAM BERBAGAI TEMA
Teknologi, sifat dasar media elektronik, dan kebutuhan akan dukungan ekonomi yang besar mengharuskan film, radio, dan televisi memiliki khalayak yang luas atau massal. Program acara radio atau film pendekpun memerlukan biaya yang besar sehingga untuk menutup semua biaya itu diperlukan khalayak yang besar. Hal ini yang menyebabkan banyak produser acara yang memproduksi berbagai tayangan hanya untuk mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan efek-efek negatif yang ditimbulkan.
Selain bermasalahnya program-program acara televisi untuk anak dan remaja, secara umum acara-acara yang ditayangkan televisi saat ini pun banyak yang memunculkan pengaruh-pengaruh negatif. Televisi begitu menghibur dan ‘menancapkan’ pengaruhnya melalui berbagai tayangan yang tumbuh ‘subur’ tanpa arah yang jelas. Berbagai tayangan sinetron, infotainment, berita-berita kriminal begitu membingungkan pemirsanya karena tak memiliki tujuan yang jelas.
Tayangan televisi dipadati dengan sinetron-sinetron yang menyuguhkan kemudahan hidup dan gelimang kemewahan, intrik-intrik seputar cinta dan rumah tangga, perseteruan karena harta dan kekuasaan serta cerita-cerita yang kurang mendukung peran televisi sebagai media informatif edukatif. Yang semakin marak juga di televisi adalah berita-berita seputar para artis yang sama sekali tidak penting dan belum tentu kebenaran beritanya.
Selanjutnya, yang cukup memprihatinkan saat ini adalah banyaknya sinetron yang mengaku bertema relijius atau Islami, sebangsa Rahasia Illahi, Pintu Hidayah, Titik Nadir, Astaghfirullah, Hikayah, dan sejenisnya. Bila dicermati, sinetron-sinetron tersebut kadang kala malah menimbulkan salah persepsi tentang Islam, penuh umpatan dan celaan, saling pukul dan sebagainya. Cerita-ceritanya pun dibuat secara gampang dengan judul yang asal-asalan, menghasilkan tayangan dengan mutu yang rendah.
Selain itu, banyak pula sinetron dewasa maupun anak-anak yang mengedepankan cerita-cerita mistis dan takhayul. Berbagai istilah seperti pocong, setan, jin, hantu, kuntilanak dan sejenisnya rupanya memiliki nilai jual yang tinggi sehingga produser tak bosan-bosannya memproduksi tayangan dengan tema-tema tersebut. Tayangan-tayangan sejenis ini betul-betul tak jelas tujuannya: efek yang paling mungkin timbul adalah pemirsa baik dewasa maupun anak-anak menjadi semakin penakut dan tidak jelas pola pikirnya.

E. BERBAGAI MASALAH AKIBAT TELEVISI: ADAKAH JALAN KELUAR?
Berbagai masalah akibat pengaruh negatif tayangan televisi tentu saja sangat meresahkan kita semua. Jika semua ini dibiarkan terjadi terus menerus, akan menjadi apa generasi penerus bangsa ini? Siapakah yang bertanggung jawab, pemerintahkah atau kita sebagai anggota masyarakat? Dari pemerintah sendiri, sebetulnya telah dibuat berbagai tata tertib dalam bentuk Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Persoalannya, apakah undang-undang tersebut sudah dapat mengatasi persoalan yang ada dan apakah KPI sudah berfungsi dengan baik?
Di Amerika Serikat, negara liberal, berkembang teori tanggung jawab sosial yang inti pemikirannya adalah: siapa saja yang menikmati kebebasan juga memiliki tanggung jawab tertentu kepada masayarakat. Media massa di Amerika Serikat memiliki kebebasan yang dijamin konstitusi, karena itu media massa berkewajiban menjalankan fungsi-fungsi esensial tertentu. Mungkin di Indonesia berlaku teori yang kurang lebih sama, namun gaungnya belum cukup efektif mengendalikan apa yang disajikan media massa agar sesuai dengan norma-norma agama dan kemasyarakatan di Indonesia.
Sebenarnya, meskipun televisi mengandung sejumlah unsur negatif, ia juga mempunyai segi-segi positif. Televisi dapat menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak-anak kita. Untuk itu, sebagai orang tua, kita diharapkan dapat membaca dan memilih acara-acara yang sesuai untuk anak, bila tidak, lebih baik televisi dimatikan. Akan lebih baik jika acara yang ditonton anak mengandung berbagai unsur pendidikan, bukan sekedar hiburan.
Kemudian, sudah selayaknya anak-anak diajak membuat peraturan-peraturan yang masuk akal, seperti batasan waktu untuk menyaksikan televisi, tidak menonton televisi sambil makan, atau sebelum pergi sekolah. Anak-anak juga harus mematikan televisi bila acara sudah selesai. Sebaiknya, acara yang sudah selesai disaksikan didiskusikan bersama, sisi-sisi positif dan negatifnya.
Namun dari kesemua itu, yang paling penting adalah menciptakan keluarga yang harmonis, tidak melulu menyalahkan tayangan televisi sebagai pemicu tindakan kekerasan dan amoral terutama pada anak-anak dan remaja. Akan tak ada hasilnya apabila orang tua terus menerus protes terhadap tayangan televisi dan menudingnya sebagai pemicu segala permasalahan sementara mereka terus sibuk dengan pekerjaannya. Disinilah perlunya ada keseimbangan antara orang tua dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut menciptakan keluarga harmonis dengan bekal nilai-nilai ajaran agama yang kokoh, sementara pihak stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggung jawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya.

F. PENUTUP
Memang harus diakui, kita seperti tak dapat hidup tanpa televisi. Televisi dengan berbagai macam variasi acaranya bagaikan obat mujarab yang mampu membantu kita sejenak melepaskan diri dari berbagai beban hidup; membawa kita ke negeri antah berantah yang tak dapat kita sentuh dalam kehidupan nyata.
Dalam fungsinya sebagai media informatif-edukatif, televisi sering menampakkan kontroversi. Acara-acara yang ditayangkannya seringkali memberi pengaruh buruk bahkan menimbulkan dampak negatif terhadap pemikiran dan perilaku anak, remaja, bahkan orangtua. Ini disebabkan acara-acara yang ditayangkan seringkali sarat dengan unsur kekerasan dan pornografi.
Banyak hal harus dibenahi dari carut marut tayangan televisi. Berbagai langkah telah ditempuh, antara lain dengan adanya UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia. Kesemua itu tentu tak akan ada artinya tanpa dukungan masyarakat sebagai penikmat televisi. Yang terpenting adalah menciptakan kondisi keluarga yang harmonis dan teguh dengan nilai agama sehingga semua dapat lebih siap dalam meredam masalah yang muncul akibat tayangan televisi.

REFERENSI
Elizabeth L. Wahyudi, Pengaruh TV terhadap Perkembangan Jiwa Anak dalam http://buletinstudia.multiply.com., 19 Mei 2007.

Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2006.

Neil Postman, Menghibur Diri Sampai Mati, Mewaspadai Media Televisi (terjemahan), Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung : Refika Aditama, 2002.

William L. Rivers dkk, Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakarta : Erlangga, 1997.

2 komentar: